Makalah, Makalah Sumber Doktrin Islam (Sunah/Hadis) Metodologi Studi Islam

6:25:00 PM
Makalah Sumber Doktrin Islam (Sunah/Hadis)

Makalah, Makalah Sumber Doktrin Islam (Sunah/Hadis) Metodologi Studi Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.                 Latar Belakang
Membahas As-Sunnah adalah membahas tentang Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul terakhir yang menerima risalah ajaran tauhidullah setelah berakhirnya masa kerasulan Nabi Isa a.s. yang diutus oleh Allah SWT. untuk bangsa Nasrani. Membicarakan As-Sunnah adalah membicarakan sejarah lahirnya As-Sunnah yang sebelumnya diketahui melalui Al-Hadis atau Al-Khabar.[1]
Terdapat perbedaan definisi dari ketiganya, meskipun di kalangan ulama hadis ada yang menyamakannya, ujung dari perbedaan mendefinisikan tiga hal tersebut adalah As-Sunnah baru diketahui setelah ada Al-Hadis yang menjelaskannya. Berita yang berkaitan dengan perilaku Nabi SAW. merupakan khabar bagi semua umat Islam, sejak para sahabat, tabiin, tabiit tabiin, tabiit tabiit tabiin, dan seterusnya sehingga sampilah kepada umat Islam yang masih hidup sekarang ini.[2]
Pengertian hadis menurut para ahli hadis hampir sama dengan Sunnah. Keduanya memilki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah diangkat maupun sebelumnya. Akan tetapi, kalau memandang lafal hadis secara umum, adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan pengakuan Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, sunnah lebih umum dari pada hadis.


B.                 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Hadis?
2.      Bagaimana kedudukan Hadis?
3.      Bagaimana sejarah Hadis?
4.      Bagaimana pembagian Sunah/Hadis?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.                 Pengertian Hadis
Hadis berasal dari bahasa Arab yaitu: hadatsa, hidats, hudatsadan huduts yang mempunyai makna: jadid (yang baru), qarib(dekat/belum lama terjadi), dan khabar (berita/warta/sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain). Sedangkan menurut istilah, hadis adalah segala yang dinukil atau diberitakan dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pengakuan.[3]
Sunnah menurut ahli hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat maupun sebelumnya. Sunnah menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi selain Al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan yang bisa dijadikan dalil bagi kaum syar’i. sunnah menurut para fuqaha adalah segala sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad SAW. yang bukan fardhu ataupun wajib.
Ada tiga peranan Al-Hadis disamping Al-Qur’an sebagai sumber Agama dan ajaran Islam. Pertama, menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, sebagai penjelasan isi Al-Qur’an. Ketiga, menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Qur’an.[4]

B.                 Kedudukan Hadis
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, juga didasarkan pada pendapat kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat.[5]Sebagaimana dalam Q.S. Al-Hasyr [59]: 7 yang artinya “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
Menurut Jumhur ulama, kedudukan hadis sebagai dalil dan sumber ajaran Islam menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Hal tersebut terutama jika ditinjau dari segi wurud atau tsubut nya yang bersifat qath’i, sedang hadis kecuali yang berstatus mutawatir bersifat dhanni al-wurud. Oleh karena itu, yang bersifat qath’I didahulukan daripada yang bersifat dhanni.[6]
Kedudukan sunnah sebagai dasar tasyri’ (sumber hukum) sering menjadi bahan pembicaraan dikalangan para pemikir Islam. Hal ini disebabkan karena adanya kebijaksanaan di zaman Nabi Muhammad SAW. yang tidak pernah memerintahkan para sahabatnya untuk menulis dan membukukan hadis. Kedudukan hadis dalam Islam yang utama adalah penjelas ayat Al-Qur’an yang masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari jibril.[7]
Berkaitan dengan kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum, jika dilihat dari wujud ajaran Islam itu sendiri, Rasulullah SAW. merupakan tokoh sentral yang sangat dibutuhkan, bukan sekedar untuk membawa risalah ilahiyah dan menyampaikan ajaran Islam yang ada didalamnya, tetapi lebih dari itu, Rasulullah SAW. dibutuhkan sebagai tokoh satu-satunya yang dipercaya oleh Allah untuk menjelaskan, merinci atau memberi contoh pelaksanaan ajaran yang disampaikan melalui Al-Qur’an. Oleh karena itulah, kebenaran tentang perilaku Rasulullah SAW. merupakan syariat berikut sebagai dalil dan sumber hukum yang kedudukannya sebagai wahyu setelah Al-Qur’an, yang kemudian disebut dengan As-Sunnah atau Al-Hadis.[8]
C.                 Sejarah Hadis
Berdasarkan catatan para pakar hadis, hadis mulai tercatat dan terbukukan secara resmi yaitu pada masa dinasti Bani Umayah oleh Khalifah Umar bin Abd al-Aziz yang memberikan instruksi kepada Abu Shihab Az-Zuhri dan Abu Bakar bin Hazm untuk mengumpulkan dan mencatat hadis yang tersebar dan tercecer dalam hafalan para ahli dan penghafal hadis.[9]
Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah sebagai berikut:
1.      Tidak adanya larangan pembukuan, sedangakan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa Usman, sehingga dapat dibedakan secara jelas antara Al-Qur’an dengan hadis dan tidak ada kemungkinan untuk tercampur antara keduanya.
2.      Khawatir akan hilangnya hadis karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah sedangkan para ulama telah menyebar di beberapa penjuru negeri Islam setelah perluasan wilayah, maka diperlukan pembukuan hadis Rasulullah untuk menjaga agar tidak hilang.
3.      Munculnya pemalsuan hadis akibat perselisihan politik dan mazhab setelah terjadinya fitnah dan terpecahnya kaum muslimin.
Namun, untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu ke waktu, akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin. Hal ini dianggap perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadis secara peridik. Dibawah ini adalah periodisasi hadis secara garis besar.[10]
Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut Masa Wahyu dan Pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-takwin). Pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadis, karena di samping adanya rasa takut bercampur antara hadis dan Al-Qur’an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada Al-Qur’an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan. Pada masa ini, para sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Periode kedua adalah zaman Khulafa Rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman al-tatsabut qa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-usaha para sahabat dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik umat Islam secara internal mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Para sahabat melakukan periwayatan hadis  dengan dua cara yaitu lafdzi dan ma’nawi.
Periode ketiga adalah penyebaran hadis keberbagai wilayah  yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkand, dan Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para sahabat yang pindah ke wilayah-wilayah tadi untuk menjadi pimpinan atau menjadi guru (pengajar) di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini adalah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’I di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah, Umar bin Abd al-Aziz di Syam. Yazid bin Habib di Mesir, dan Wahab bin Munabib di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi (‘ashr al-kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke 8 M. Ini adalah khalifah Bani Umayah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadis.
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (‘ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke 3 sampai akhir abad ke 3 Hijriah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah al-Ma’mun sampai al-Mu’tadir. Pada masa ini, para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadis-hadis, yaitu dengan cara memisahkan hadis marfu’ dari hadis mauquf dan maqthu’.
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan (‘ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Periode ketujuh adalah periode persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahd al-syarh wa al-jamu’ wa al-takhrij wa al-bahts). Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama dalam aspek persyarahan dan pengumpulan hadis-hadis. Ulama pada peride ini mulai mensistemisasi hadis-hadis menurut kehendak penyususun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadis menurut kualitasnya. Tetapi cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan.
D.                Pembagian Sunah/Hadis
Sunah biasa diartikan sebagaia jalan yang terpuji , jalan/cara yang dibiasakan. Sunah juga diartikan sebagai sabda, perbuatan, dan persetujuan (taqrir) yang berasal dari Rasulullah SAW. tiga cakupan makna sunah di atas menjadi dasar untuk membedakan sunah ke dalam tiga macam yaitu sunah qauliyah, sunah fi’liyah, dan sunah taqririyah (persetujuan).[11]
Sunah qauliyah ialah sabda yang Rasulullah sampaikan secara langsung pada kejadian seperti memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudaratan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi dirinya dan orang lain.
Sunah fi’liyah ialah segala tindakan Nabi yang berkaitan dengan perbuatannya, misalnya, tata cara menyempurnakan shalat, syarat-syarat dan rukun melaksanakannya, menjalankan ibadah haji, memutuskan perkara berdasarkan bukti atau saksi, dan penyumpahan terhadap seorang pendakwa.
Sunah taqririyah ialah seluruh perkataan dan perbuatan sebagian sahabat yang disetujui Rasulullah SAW. secara diam-diam atau tidak dibantahnya atau disetujuinya melalui pujian yang baik. Persetujuan Nabi terhadap perbuatan para sahabat itu dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
Kita mengenal sejumlah periwayat hadis dan kitabnya, antara lain Bukhari (Shahih Bukhari), Muslim (Shahih Muslim), Abu Daud (Sunan Abi Dawud), Al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi), Al-Nasa’I (Sunan al-Nasa’i), Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah), Imam Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad), Imam Malik (Muwaththa Malik), dan Al-Darimi (Sunan al-Darimi).[12]
Berikut ini beberapa macam hadis yang diklasifikasikan berdasarkan ujung sanad, jumlah periwayat, tingkat keaslian, dan jenis-jenis lain.[13]
1.      Berdasarkan Ujung Sanad
Dari klasifikasi ini, sebuah hadis terbagi ke dalam tiga golongan. Pertama, marfu’, maksudnya hadis tersebut berujung pada Rasulullah SAW. Kedua, mauquf, yaitu sanadnya yang terhenti pada para sahabat. Ketiga, maqtu’, yaitu hadis yang berujung pada para tabi’in.
2.      Berdasarkan Jumlah Periwayat
Dengan kategori ini, hadis dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Mutawatir berarti diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak mungkin berdusta. Untuk hadis ahad diriwayatkan sekelompok orang, tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.
3.      Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadis
Asli atau tidaknya hadis menjadi faktor yang sangat penting. Adapun pembagiannya ada empat, yaitu sahih, hasan, dha’if dan maudhu’.
4.      Jenis-jenis Lain
Klasifikasi hadis lainnya, yaitu matruk, munkar, mu’allal, mudhtharrib, maqlub, ghalia, mudraj, syadz, dan mudallas.



BAB III
PENUTUP
Simpulan
Hadis berasal dari bahasa Arab yaitu: hadatsa, hidats, hudatsadan huduts yang mempunyai makna: jadid (yang baru), qarib(dekat/belum lama terjadi), dan khabar (berita/warta/sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain). Sedangkan menurut istilah, hadis adalah segala yang dinukil atau diberitakan dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pengakuan.
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, juga didasarkan pada pendapat kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Hasyr [59]: 7 yang artinya “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
Berdasarkan catatan para pakar hadis, hadis mulai tercatat dan terbukukan secara resmi yaitu pada masa dinasti Bani Umayyah oleh Khalifah Umar bin Abd al-Aziz yang memberikan instruksi kepada Abu Shihab Az-Zuhri dan Abu Bakar bin Hazm untuk mengumpulkan dan mencatat hadis yang tersebar dan tercecer dalam hafalan para ahli dan penghafal hadis.
            Berdasarkan cakupan makna sunah ada tiga macam sunah, yaitu sunah qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah. Dan ada juga pembagian hadis yang berdasarkan ujung sanad (marfu’, mauquf, dan maqtu’), berdasarkan jumlah periwayatnya (mutawatir dan ahad), berdasarkan tingat keaslian hadis (sahih, hasan, dha’if, dan maudhu’), dan jenis-jenis lainnya (matruk, munkar, mu’allal, mudhtharrib, maqlub, ghalia, mudraj, syadz, dan mudallas).



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Cet.XII; Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2013.
Anwar, Rosihon. Pengantar Studi Islam. Cet.II; Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.
Hakim, Atang Abd. Metodologi Studi Islam. Cet.VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya.2003.
Januri dan Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Ushul Fiqh. Cet.I; Bandung: CV Pustaka Setia. 2009.
Khoiriyah. Memahami Metodologi Studi Islam. Cet.I; Yogyakarta: Teras. 2013.
Mahfud, Rois. Pendidikan Agama Islam. Erlangga. 2011.
Mukni’ah. Materi Pendidikan Islam untuk Perguruan Tinggi Umum. Cet.I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Cet.II; CV Pustaka Setia. 2012




[1]Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Cet.I;Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), H. 151
[2]Beni Ahmad Saebani dan Januri, Ibid, H. 151
[3]Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam, (Cet.I; Yogyakarta: Teras, 2013), H. 63
[4]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Cet.XII; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), H. 112-113
[5]Rosihon Anwar, Pengantar Studi Islam, (Cet.II; Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), H. 182
[6]Khoiriyah,  Op Cit, H. 67
[7]Mukni’ah, Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, (Cet.I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), H. 217
[8]Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Cet.II; Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), H. 165
[9]Khoiriyah, Op Cit, H. 74-75
[10]Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, (Cet.VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), H. 89
[11]Rois Mahfud, Pendidikan Agama Islam, (Erlangga, 2011), H. 112-113
[12]Mukni’ah, Op Cit, H. 221
[13]Mukni’ah, Op Cit, H. 219

Artikel Terkait

Previous
Next Post »