MAKALAH - TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH

4:16:00 AM




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Suatu Jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila satu orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Iasytirak.
Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya.seseorang yang melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.
Pada dasarnya menurut syariat Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah hanya dijatuhi hukuman ta’zir.

B.      Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian pada latar belakang, maka dapat dimunculkan permasalahan pokok sebagai berikut:
1.       Bagaimanakah turut serta melakukan jarimah itu?
1
 
2.       Bagaimana pertalian perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung?
                                                               BAB II
PEMBHASAN

A.      Turut Serta Berbuat Jarimah
Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Isytirak.
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam:
B.      Turut Serta Secara Langsung
Turut serta secara langsung (al-Isytirakul Mubasyir). Orang yang turut serta disebut peserta langsung (assyirkul mubasyir). Turut serta secara lansung terjadi apabila orang-orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Pengertian melakukan jarimah dengan nyata di sini adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung, walaupun sampai tidak selesai. Jadi, cukup dianggap sebagai turut serta secara langsung apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah itu. Misalnya dua orang (A dan B) akan membunuh seseorang (C). A sudah memukul tengkuk dengan sepotong kayu kemudian pergi, sedangkan B yang meneruskan sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A tidak turut menyelesaikan jarimah tersebut, tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan tindak pidana pembunuhan. Di sini A dianggap orang yang turut serta secara langsung.
2
 
Di samping itu, termasuk turut serta secara langsung adalah bentuk perbuatan yang sebenarnya turut serta tidak langsung, yaitu apabila pelaku langsung hanya menjadi kaki tangan atau alat semata-mata bagi pelaku tidak langsung. Misalnya apabila seseorang memerintahkan anak di bawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian perintahnya itu dilaksanakanya maka orang yang memerintahkan itu juga dianggap pelaku langsung. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah; orang yang memerintahkan tersebut tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali perintahnya itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakanya. Dengan demikian, apabila perintah tersebut tidak sampai kepada tingkatan paksaan maka perbuatanya itu tetap dianggap sebagai turut serta tidak langsung.
Turut serta secara langsung adakalanya dilakukan secara kebetulan saja dan adakalanya direncanakan lebih dahulu. Kalau kerja sama itu secara kebetulan saja maka disebut tawafuq dan kerja sama yang direncanakan terlebih dahulu disebut tamalu. Contoh tawafuq adalah A sedang berkelahi dengan B. C yang mempunyai dendam kepada B kebetulan lewat dan ia turut mengayunkan pisaunya ke perut B, sehingga akhirnya B meninggal dunia. Dalam contoh ini A dan C bersama-sama membunuh B, tetapi antara mereka tidak ada permufkatan sebelumnya. Sedangkan contoh tamalu adalah A dan B bersepakat untuk membunuh C. Kemudian A mengikat korban (C) dan B yang memukulnya sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A dan B dianggap sebagai pelaku atau orang turut serta secara langsung atas dasar permufakatan.
Mengenai pertanggungjawaban peserta langsung dalam tawafuq dan tamalu’ terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fuqha.
Menurut jumhur ulama ada perbedaan pertanggungjawaban peserta anatara tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatanya sendiri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Sedang pada tamalu para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan mereka secara keseluruhan. Kalau korban misalnya sampai mati maka masing-masing peserta dianggap sebagai pembunuh.
Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian fuqaha Syafi’iah, tidak ada perbedaan antara pertanggungjawaban para peserta dalam tawafuq dan tamalu, yaitu bahwa masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatanya sendiri-sendiri dan tidak bertanggung jawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan.
C.      Hukuman Untuk Para Peserta Langsung
Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya. Seseorang yang melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.
Meskipun demikian masing-masing peserta dalam jarimah itu bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri, tetapi tetap tidak bisa berpengaruh kepada orang lain. Seorang kawan berbuat yang masih di bawah umur atau dalam keadaan gila, bisa dibebaskan dari hukuman karena keadaanya tidak memenuhi Syarat untuk dilaksanakanya hukuman atas dirinya.
Apabila jarimah yang mereka lakukan itu jarimah pembunuhan maka hukuman terhadap mereka diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut jumhur fuqaha yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Iama Ats Tsauri, Imam Ahmad, dan Imam Abu Tsaur, apabila beberapa orang membunuh satu orang, maka mereka harus dibunuh semuanya. Pendapat ini merupakan pendapat Umar ra. Diriwayatkan dari Syaidina Umar ra. Bahwa beliau pernah mengatakan:
لـَوْ تَـمَـا لأ َ عَــلـَيْـهِ أ َ هْـلُ صَـنْـعَـا ء ِ لـَقـَـتـَلْـْتـَهُـمْ جَـمِـيْـعًـا
Artinya: Andaikata penduduk San’a bersepakat membunuhnya maka saya membunuh mereka semuanya
Sedangkan menurut Imam Daud Az Zahiri, apabila beberapa orang membunuh satu orang maka yang dihukum (qishas) hanyalah salah seorang saja. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Zubair, Imam Zuhri, dan Jabir.

D.      Turut Berbuat Tidak Langsung
Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain untuk memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesegajaan.
Dari keterangan tersebut di atas kita mengetahui bahwa unsur-unsur turut berbuat tidak langsung itu ada tiga macam, yaitu:
1.       Adanya perbuatan yang dapat dihukum.
2.       Adanya niat dari yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat terjadi.
3.       Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh, atau member bantuan.
a.       Adanya Perbuatan Yang Dapat Dihukum
Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini perbuatan perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai, melainkan cukup walaupun baru pecobaab saja. Juga tidak disyaratkan pelaku langsung harus dihukum pula.
b.       Adanya Niat dar Orang Yang Turut Berbuat
Untuk mewujudkanya turut serta tidak langsung, juga disyaratkan adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau bantuanya itu perbuatan itu dapat terjadi. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap turut berbuat dalam semua jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau jarimahnya ditentukan, tetapi yang terjadi jarimah lain yang tidak dimaksudkanya maka tidak terdapat turut berbuat, meskipun karena persepakatan, suruhan atau bantuan tersebut ia bisa dijatuhi hukuman.
c.       Cara Mewujudkan Perbuatan
Turut berbuat tidak langsung terjadi dengan cara sebagai berikut.
1.)     Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan suatu jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut berbuat. Meskipun ada persepakatan tetapi jarimah yang terjadi bukan yang disepakati maka juga tidak ada turut berbuat. Dengan demikian untuk terjadinya turut berbuat dengan cara persepakatan, jarimah yang terjadi harus merupakan akibat dari persepakatan itu.
Dalam hal ini Imam Malik mempunyai pendapat sendiri, yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan lain hanya turt hadir dan menyaksikan pelaksanaan jarimah tersebut maka orang yang menyaksikan itu dianggap sebagai kawan berbuat langsung. Pendapat ini berlaku dalam semua cara turut serta tidak langsung, baik dengan jalan persepakatan, suruhan ataupun bantuan.
2.)     Suruhan atau Hasutan
Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang lain untuk meklakukan suatu jarimah dan bujukan itu menjadi pedorong untuk dilakukanya jarimah itu. Bujukan atau hasutan terhadap orang lain untuk melakukan sesuatu jarimah merupakan suatu maksiat yang sudah bisa dijatuhi hukuman.
Dalam tingkatan yang paling rendah dorongan bisa berupa member semangat kepada orang lain untuk melakukan jarimah. Paksaan meruapakan tingkatan yang lebih tinggi lagi. Paksaan ini terjadi apabila orang yang mengeluarkan perintah atau bujukan itu mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintahnya , seperti orang tua terhadap anaknya atau atasan terhadap bawahanya.
3.)     Memberi Bantuan
Orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam melaksanakan suatu jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung, meskipun tidak ada persepakatan sebelumnya. Seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain.
Para fuqaha membedakan antara pelaku langsung (mubasyir) dengan member bantuan (al-mu’in). Pelaku langsung (mubasyir) adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Sedangkan pemberi bantuan (al-mu’in) adalah orang yang tidak berbuat atau mencoba berbuat, melainkan hanya menolong pembuat langsung dengan perbuatan-perbuatan yang pada lahirnya tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dan juga tidak dianggap sebagai permualaan pelaksanaan dari perbuatan yang dilarang tersebut.
E.      Hukuman Pelaku Tidak Langsung
Pada dasarnya menurut syari’at Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah dijatuhi hukuman ta’zir.
Alasan pengkhususan ketentuan tersebut untuk jarimah hudud dan qishash ini karena pada umumnya hukuman-hukuman yang telah ditentukan itu berat dan tidak berbuat langsungnya pelaku tidak langsung merupakan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had. Di samping itu juga kawan berbuat (peserta tidak langsung) tidak sama bahayanya dibandingkan dengan pelaku langsung. Meskipun demikian kalau perbuatan pelaku tidak langsung bisa dipandang sebagai pembuat langsung, karena pelaku langsung hanya sebagai alat semata-semata yang digerakan oleh pelaku tidak langsung maka pelaku tidak langsung tersebut bisa dijatuhi hukuman had atau qishash. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa menurut Imam Malik peserta tidak langsung dapat dipandang sebagai pelaku langsung, apabila orang tersebut menyaksikan terjadinya jarimah tersebut.
Aturan perbedaan hukuman antara pelaku langsung dan tidak langsung tersebut, hanya berlaku dalam jarimah hudud dan qishash dan tidak berlaku untuk jarimah ta’zir. Dengan demikian, dalam jarimah ta’zir tidak ada perbedaan hukuman antara pelaku langsung dan pelaku tidak langsung, sebab perbuatan masing-masing pembuat tersebut termasuk jarimah ta’zir dan hukumanya juga hukuman ta’zir, sedangkan syara’ tidak memisahkan antara jarimah ta’zir yang satu dan jarimah ta’zir lainya. Selama hakim mempunyai kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir, maka tidak ada perlunya membuat pemisahan antara hukuman perbuatan langsung dengan hukuman perbuatan tidak langsung dalam jarimah ta’zir. Oleh karena itu, hukuman pelaku tidak langsung bisa lebih berat, sama berat atau lebih ringan daripada hukuman pelaku langsung, berdasarkan pertimbangan masing-masing pelaku, baik keadaanya maupun perbutanya.
F.      Pertalian Perbuatan Langsung Dengan Perbuatan Tidak Langsung
Pertalian anatara kedua macam perbuatan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih dari kemungkinan.

1.       Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan lansung, dan hal ini bisa terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum (pelanggaran hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.
2.       Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi. Seperti orang yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian datang orang ketiga untuk membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
3.       Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah yang menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.
Akan tetapi dalam penerapan (pembedaan-pembedaan) tersebut terdapat perbedaan di kalangan fuqaha, seperti apabila ada orang menahan orang lain (orang kedua) agar bisa dibunuh oleh orang ketiga.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi’I orang pertama (yang menahan) adalah peserta yang member bantuan, bukan pembuat asli (langsung). Alasanya ialah bahwa orang yang menahan mekipun menjadi sebab bagi kematian orang kedua, namun orang kedualah yang melakukan pembunuhan langsung, sedang perbuatan langsung lebih kuat daripada perbutan tidak lngsung, apabila perbuatan tidak langsung tidak mengharuskan menimbulkan akibat.
Menurut fuqaha lainya, yaitu Imam-imam Malik dan beberapa ulama mazhab Hambali, baik orang yang menahan maupun yang membunuh langsung, kedua-duanya dianggap sebagai pembunuh langsung. Alasanya ialah bahwa perbutan-perbuatan langsung dan tidak langsung pada contoh pada pembahasan sebelumnya sama-sama menimbulkan akibat perbutan jarimah yaitu kematian si korban.
Kalau sekiranya tidak ada salah satu dari kedua perbuatan itu tentunya tidak akan terjadi kematian tersebut.
Jadi letak perbedaan bukan kepada siapa pembantu dan siapa pembuat asli (langsung), melainkan apakah perbuatan tidak langsung pada contoh tersebut sama dengan perbuatan langsung atau tidak.
Apabila kawan berbuat mengurungkan persepakatanya atau hasutanya atau bantuanya, akan tetapi meskipun demikian sesuatu jarimah terjadi juga dari pembuat langsung, maka kawan berbuat tidak dihukum, karena apa yang telah diperbuatnya tidak menjadi sebab bagi terjadinya jarimah.
Khusus mengenai hasutan, maka kawan berbuat baru dimaafkan betul-betul kalau penghasut dapat menunjukan bahwa dia telah menghapuskan pengaruh perbuatan atas terjadinya jarimah.






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.       Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Isytirak.
2.       Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya. Seseorang yang melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.
3.       Unsur-unsur turut berbuat tidak langsung itu ada tiga macam, yaitu:
          a.  Adanya perbuatan yang dapat dihukum.
          b.  Adanya niat dari yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat terjadi.
          c.  Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh, atau member bantuan.
11
 
4.       Pada dasarnya menurut syari’at Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah dijatuhi hukuman ta’zir.
5.       Pertalian anatara kedua macam perbuatan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih dari kemungkinan.
          a.  Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan lansung, dan hal ini bisa terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum (pelanggaran hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.
          b.  Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi. Seperti orang yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian datang orang ketiga untuk membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
          c.  Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah yang menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.

         



DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

     










                                                                                     
13
 
 

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI                                                                                                            i
BAB           I        PENDAHULUAN                                                                       1
A.           Latar Belakang                                                                              1
B.           Rumusan Masalah                                                                        1
BAB           II      PEMBAHASAN                                                                          2
                   A.     Turut Serta Berbuat Jarimah                                                         2
                   B.      Turut Serta Secara Langsung                                                       2
                   C.      Hukuman Untuk Para Peserta Langsung                                      4
                    D.     Turut Berbuat Tidak Langsung                                                    5
                   E.      Hukuman Pelaku Tidak Langsung                                               7
                   F.      Pertalian Perbuatan Langsung Dengan Perbuatan
                            Tidak Langsung                                                                            8
BAB           III     PENUTUP                                                                                 11
                   A.     Kesimpulan                                                                                 11
DAFTAR PUSTAKA                                                                                            13


i
 
 

TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH

 






MAKALAH

MUHAMMAD YASIN
                                  NIM: 07.3.S.0015


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Pidana Islam
(Fiqih Jinayat)


STAIN WATAMPONE JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HTNI
 SEMESTER V
                  


 DOWNLOAD FILE LENGKAP DISINI







                  


Artikel Terkait

Previous
Next Post »