MAKALAH - TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH

4:16:00 AM 0




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Suatu Jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila satu orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Iasytirak.
Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya.seseorang yang melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.
Pada dasarnya menurut syariat Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah hanya dijatuhi hukuman ta’zir.

B.      Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian pada latar belakang, maka dapat dimunculkan permasalahan pokok sebagai berikut:
1.       Bagaimanakah turut serta melakukan jarimah itu?
1
 
2.       Bagaimana pertalian perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung?
                                                               BAB II
PEMBHASAN

A.      Turut Serta Berbuat Jarimah
Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Isytirak.
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam:
B.      Turut Serta Secara Langsung
Turut serta secara langsung (al-Isytirakul Mubasyir). Orang yang turut serta disebut peserta langsung (assyirkul mubasyir). Turut serta secara lansung terjadi apabila orang-orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Pengertian melakukan jarimah dengan nyata di sini adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung, walaupun sampai tidak selesai. Jadi, cukup dianggap sebagai turut serta secara langsung apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah itu. Misalnya dua orang (A dan B) akan membunuh seseorang (C). A sudah memukul tengkuk dengan sepotong kayu kemudian pergi, sedangkan B yang meneruskan sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A tidak turut menyelesaikan jarimah tersebut, tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan tindak pidana pembunuhan. Di sini A dianggap orang yang turut serta secara langsung.
2
 
Di samping itu, termasuk turut serta secara langsung adalah bentuk perbuatan yang sebenarnya turut serta tidak langsung, yaitu apabila pelaku langsung hanya menjadi kaki tangan atau alat semata-mata bagi pelaku tidak langsung. Misalnya apabila seseorang memerintahkan anak di bawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian perintahnya itu dilaksanakanya maka orang yang memerintahkan itu juga dianggap pelaku langsung. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah; orang yang memerintahkan tersebut tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali perintahnya itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakanya. Dengan demikian, apabila perintah tersebut tidak sampai kepada tingkatan paksaan maka perbuatanya itu tetap dianggap sebagai turut serta tidak langsung.
Turut serta secara langsung adakalanya dilakukan secara kebetulan saja dan adakalanya direncanakan lebih dahulu. Kalau kerja sama itu secara kebetulan saja maka disebut tawafuq dan kerja sama yang direncanakan terlebih dahulu disebut tamalu. Contoh tawafuq adalah A sedang berkelahi dengan B. C yang mempunyai dendam kepada B kebetulan lewat dan ia turut mengayunkan pisaunya ke perut B, sehingga akhirnya B meninggal dunia. Dalam contoh ini A dan C bersama-sama membunuh B, tetapi antara mereka tidak ada permufkatan sebelumnya. Sedangkan contoh tamalu adalah A dan B bersepakat untuk membunuh C. Kemudian A mengikat korban (C) dan B yang memukulnya sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A dan B dianggap sebagai pelaku atau orang turut serta secara langsung atas dasar permufakatan.
Mengenai pertanggungjawaban peserta langsung dalam tawafuq dan tamalu’ terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fuqha.
Menurut jumhur ulama ada perbedaan pertanggungjawaban peserta anatara tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatanya sendiri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Sedang pada tamalu para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan mereka secara keseluruhan. Kalau korban misalnya sampai mati maka masing-masing peserta dianggap sebagai pembunuh.
Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian fuqaha Syafi’iah, tidak ada perbedaan antara pertanggungjawaban para peserta dalam tawafuq dan tamalu, yaitu bahwa masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatanya sendiri-sendiri dan tidak bertanggung jawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan.
C.      Hukuman Untuk Para Peserta Langsung
Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya. Seseorang yang melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.
Meskipun demikian masing-masing peserta dalam jarimah itu bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri, tetapi tetap tidak bisa berpengaruh kepada orang lain. Seorang kawan berbuat yang masih di bawah umur atau dalam keadaan gila, bisa dibebaskan dari hukuman karena keadaanya tidak memenuhi Syarat untuk dilaksanakanya hukuman atas dirinya.
Apabila jarimah yang mereka lakukan itu jarimah pembunuhan maka hukuman terhadap mereka diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut jumhur fuqaha yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Iama Ats Tsauri, Imam Ahmad, dan Imam Abu Tsaur, apabila beberapa orang membunuh satu orang, maka mereka harus dibunuh semuanya. Pendapat ini merupakan pendapat Umar ra. Diriwayatkan dari Syaidina Umar ra. Bahwa beliau pernah mengatakan:
لـَوْ تَـمَـا لأ َ عَــلـَيْـهِ أ َ هْـلُ صَـنْـعَـا ء ِ لـَقـَـتـَلْـْتـَهُـمْ جَـمِـيْـعًـا
Artinya: Andaikata penduduk San’a bersepakat membunuhnya maka saya membunuh mereka semuanya
Sedangkan menurut Imam Daud Az Zahiri, apabila beberapa orang membunuh satu orang maka yang dihukum (qishas) hanyalah salah seorang saja. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Zubair, Imam Zuhri, dan Jabir.

D.      Turut Berbuat Tidak Langsung
Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain untuk memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesegajaan.
Dari keterangan tersebut di atas kita mengetahui bahwa unsur-unsur turut berbuat tidak langsung itu ada tiga macam, yaitu:
1.       Adanya perbuatan yang dapat dihukum.
2.       Adanya niat dari yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat terjadi.
3.       Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh, atau member bantuan.
a.       Adanya Perbuatan Yang Dapat Dihukum
Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini perbuatan perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai, melainkan cukup walaupun baru pecobaab saja. Juga tidak disyaratkan pelaku langsung harus dihukum pula.
b.       Adanya Niat dar Orang Yang Turut Berbuat
Untuk mewujudkanya turut serta tidak langsung, juga disyaratkan adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau bantuanya itu perbuatan itu dapat terjadi. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap turut berbuat dalam semua jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau jarimahnya ditentukan, tetapi yang terjadi jarimah lain yang tidak dimaksudkanya maka tidak terdapat turut berbuat, meskipun karena persepakatan, suruhan atau bantuan tersebut ia bisa dijatuhi hukuman.
c.       Cara Mewujudkan Perbuatan
Turut berbuat tidak langsung terjadi dengan cara sebagai berikut.
1.)     Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan suatu jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut berbuat. Meskipun ada persepakatan tetapi jarimah yang terjadi bukan yang disepakati maka juga tidak ada turut berbuat. Dengan demikian untuk terjadinya turut berbuat dengan cara persepakatan, jarimah yang terjadi harus merupakan akibat dari persepakatan itu.
Dalam hal ini Imam Malik mempunyai pendapat sendiri, yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan lain hanya turt hadir dan menyaksikan pelaksanaan jarimah tersebut maka orang yang menyaksikan itu dianggap sebagai kawan berbuat langsung. Pendapat ini berlaku dalam semua cara turut serta tidak langsung, baik dengan jalan persepakatan, suruhan ataupun bantuan.
2.)     Suruhan atau Hasutan
Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang lain untuk meklakukan suatu jarimah dan bujukan itu menjadi pedorong untuk dilakukanya jarimah itu. Bujukan atau hasutan terhadap orang lain untuk melakukan sesuatu jarimah merupakan suatu maksiat yang sudah bisa dijatuhi hukuman.
Dalam tingkatan yang paling rendah dorongan bisa berupa member semangat kepada orang lain untuk melakukan jarimah. Paksaan meruapakan tingkatan yang lebih tinggi lagi. Paksaan ini terjadi apabila orang yang mengeluarkan perintah atau bujukan itu mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintahnya , seperti orang tua terhadap anaknya atau atasan terhadap bawahanya.
3.)     Memberi Bantuan
Orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam melaksanakan suatu jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung, meskipun tidak ada persepakatan sebelumnya. Seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain.
Para fuqaha membedakan antara pelaku langsung (mubasyir) dengan member bantuan (al-mu’in). Pelaku langsung (mubasyir) adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Sedangkan pemberi bantuan (al-mu’in) adalah orang yang tidak berbuat atau mencoba berbuat, melainkan hanya menolong pembuat langsung dengan perbuatan-perbuatan yang pada lahirnya tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dan juga tidak dianggap sebagai permualaan pelaksanaan dari perbuatan yang dilarang tersebut.
E.      Hukuman Pelaku Tidak Langsung
Pada dasarnya menurut syari’at Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah dijatuhi hukuman ta’zir.
Alasan pengkhususan ketentuan tersebut untuk jarimah hudud dan qishash ini karena pada umumnya hukuman-hukuman yang telah ditentukan itu berat dan tidak berbuat langsungnya pelaku tidak langsung merupakan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had. Di samping itu juga kawan berbuat (peserta tidak langsung) tidak sama bahayanya dibandingkan dengan pelaku langsung. Meskipun demikian kalau perbuatan pelaku tidak langsung bisa dipandang sebagai pembuat langsung, karena pelaku langsung hanya sebagai alat semata-semata yang digerakan oleh pelaku tidak langsung maka pelaku tidak langsung tersebut bisa dijatuhi hukuman had atau qishash. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa menurut Imam Malik peserta tidak langsung dapat dipandang sebagai pelaku langsung, apabila orang tersebut menyaksikan terjadinya jarimah tersebut.
Aturan perbedaan hukuman antara pelaku langsung dan tidak langsung tersebut, hanya berlaku dalam jarimah hudud dan qishash dan tidak berlaku untuk jarimah ta’zir. Dengan demikian, dalam jarimah ta’zir tidak ada perbedaan hukuman antara pelaku langsung dan pelaku tidak langsung, sebab perbuatan masing-masing pembuat tersebut termasuk jarimah ta’zir dan hukumanya juga hukuman ta’zir, sedangkan syara’ tidak memisahkan antara jarimah ta’zir yang satu dan jarimah ta’zir lainya. Selama hakim mempunyai kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir, maka tidak ada perlunya membuat pemisahan antara hukuman perbuatan langsung dengan hukuman perbuatan tidak langsung dalam jarimah ta’zir. Oleh karena itu, hukuman pelaku tidak langsung bisa lebih berat, sama berat atau lebih ringan daripada hukuman pelaku langsung, berdasarkan pertimbangan masing-masing pelaku, baik keadaanya maupun perbutanya.
F.      Pertalian Perbuatan Langsung Dengan Perbuatan Tidak Langsung
Pertalian anatara kedua macam perbuatan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih dari kemungkinan.

1.       Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan lansung, dan hal ini bisa terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum (pelanggaran hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.
2.       Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi. Seperti orang yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian datang orang ketiga untuk membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
3.       Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah yang menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.
Akan tetapi dalam penerapan (pembedaan-pembedaan) tersebut terdapat perbedaan di kalangan fuqaha, seperti apabila ada orang menahan orang lain (orang kedua) agar bisa dibunuh oleh orang ketiga.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi’I orang pertama (yang menahan) adalah peserta yang member bantuan, bukan pembuat asli (langsung). Alasanya ialah bahwa orang yang menahan mekipun menjadi sebab bagi kematian orang kedua, namun orang kedualah yang melakukan pembunuhan langsung, sedang perbuatan langsung lebih kuat daripada perbutan tidak lngsung, apabila perbuatan tidak langsung tidak mengharuskan menimbulkan akibat.
Menurut fuqaha lainya, yaitu Imam-imam Malik dan beberapa ulama mazhab Hambali, baik orang yang menahan maupun yang membunuh langsung, kedua-duanya dianggap sebagai pembunuh langsung. Alasanya ialah bahwa perbutan-perbuatan langsung dan tidak langsung pada contoh pada pembahasan sebelumnya sama-sama menimbulkan akibat perbutan jarimah yaitu kematian si korban.
Kalau sekiranya tidak ada salah satu dari kedua perbuatan itu tentunya tidak akan terjadi kematian tersebut.
Jadi letak perbedaan bukan kepada siapa pembantu dan siapa pembuat asli (langsung), melainkan apakah perbuatan tidak langsung pada contoh tersebut sama dengan perbuatan langsung atau tidak.
Apabila kawan berbuat mengurungkan persepakatanya atau hasutanya atau bantuanya, akan tetapi meskipun demikian sesuatu jarimah terjadi juga dari pembuat langsung, maka kawan berbuat tidak dihukum, karena apa yang telah diperbuatnya tidak menjadi sebab bagi terjadinya jarimah.
Khusus mengenai hasutan, maka kawan berbuat baru dimaafkan betul-betul kalau penghasut dapat menunjukan bahwa dia telah menghapuskan pengaruh perbuatan atas terjadinya jarimah.






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.       Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Isytirak.
2.       Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya. Seseorang yang melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.
3.       Unsur-unsur turut berbuat tidak langsung itu ada tiga macam, yaitu:
          a.  Adanya perbuatan yang dapat dihukum.
          b.  Adanya niat dari yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat terjadi.
          c.  Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh, atau member bantuan.
11
 
4.       Pada dasarnya menurut syari’at Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah dijatuhi hukuman ta’zir.
5.       Pertalian anatara kedua macam perbuatan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih dari kemungkinan.
          a.  Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan lansung, dan hal ini bisa terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum (pelanggaran hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.
          b.  Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi. Seperti orang yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian datang orang ketiga untuk membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
          c.  Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah yang menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.

         



DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

     










                                                                                     
13
 
 

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI                                                                                                            i
BAB           I        PENDAHULUAN                                                                       1
A.           Latar Belakang                                                                              1
B.           Rumusan Masalah                                                                        1
BAB           II      PEMBAHASAN                                                                          2
                   A.     Turut Serta Berbuat Jarimah                                                         2
                   B.      Turut Serta Secara Langsung                                                       2
                   C.      Hukuman Untuk Para Peserta Langsung                                      4
                    D.     Turut Berbuat Tidak Langsung                                                    5
                   E.      Hukuman Pelaku Tidak Langsung                                               7
                   F.      Pertalian Perbuatan Langsung Dengan Perbuatan
                            Tidak Langsung                                                                            8
BAB           III     PENUTUP                                                                                 11
                   A.     Kesimpulan                                                                                 11
DAFTAR PUSTAKA                                                                                            13


i
 
 

TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH

 






MAKALAH

MUHAMMAD YASIN
                                  NIM: 07.3.S.0015


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Pidana Islam
(Fiqih Jinayat)


STAIN WATAMPONE JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HTNI
 SEMESTER V
                  


 DOWNLOAD FILE LENGKAP DISINI







                  


MAKALAH - PENGARUH TIMBAL BALIK HUKUM DENGAN NON HUKUM (POLITIK)

4:12:00 AM 0


BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Semenjak dilahirkan di dunia, maka manusia telah mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara teratur tersebut dipunyai sejak lahir dan selalu berkembang dan selalu berkembang di dalam pergaulan hidupnya. Namun, apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh pihak-pihak lainya. Oleh karena itu, maka manusia sebagai mahluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan pedomanuntuk berprilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan.
1
 
Dalam mewujudkan harapan-harapan tersebut diantaranya Hukum dan Politik mempunyai peranan penting Hubungan antara hukum dan politik yang seyogianya lebih dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan politik, ini tergantung pada persepsi kita sendiri tentang apa yang kita maksudkan sebagai hukum, dan apa yang kita maksudkan      dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik, dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik, maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan “positif” yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik, maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik, karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara            hukum dan politik tersebut.  Bagi kaum non—dogmatif, hukum bukan sekedar undang-undang. Antara lain dapat kita lihat pada apa yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich (Paton,bahwa: that law depends on popular acceptance and that each group creates its own living        law which        alone    has          creative force”. (hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya masing-masing       terkandung      kekuatan          kreatif). Perlu kita tegaskan di sini, bahwa yang kita maksudkan dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian dengan kekuasaan resmi suatu pemerintahan negara.

B.      Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian pada latar belakang maka dapat dimunculkan permasalahan pokok sebagai berikut:
.1.      Apa itu Hukum dan Politik?
2.       Bagaimana Hubungan Hukum dan .Politik?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hukum dan Politik
1.       Pengertian
Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.[1]
2.       Pengertian Politik
3
 
Politik adalah proses pembentuk dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan anatar berbagai defenisi yang berbeda mengenai hakekat politik yang dikenal dalam ilmu politik. disamping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda di antaranya yaitu politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dimasyarakat. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. [2]

B.      Pengaruh Timbal Balik Hukum dan Non Hukum (Politik)
Pengaruh atau hubungan antara hukum dan politik manakah yang seyogianya lebih dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan politik? Jawaban atas pertanyaan ini, tergantung pada persepsi kita sendiri tentang apa yang kita maksudkan sebagai hukum, dan apa yang  kita      maksudkan      dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik, dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik, maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan “positif” yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik, maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik, karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum          dan          politik    tersebut.
Bagi kaum non—dogmatif, hukum bukan sekedar undang-undang. Antara lain dapat kita lihat pada apa yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich(Paton,1951:21)bahwa: “...that law depends on popular acceptance and that each group creates its own living law which alone has creative force”.
(hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya masing-masing terkandung kekuatan kreatif). Perlu kita tegaskan di sini, bahwa yang kita maksudkan dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian dengan kekuasaan resmi suatu pemerintahan negara.
Mungkin seluruh negara yang ada di dunia kini, apapun wujudnya (kerajaan atau republik; berfaham liberal atau sosialis; menggunakan sistem demokrasi ataupun otiriter/diktator) menyatakan negara mereka sebagai “negara hukum”. Olehnya itu senantiasa timbul pertanyaan, yang mana yang lebih dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan            negara? Pandangan Mac Iver yang membedakan 2 jenis hukum. Yang pertama, hukum yang berada di bawah pengaruh politik, dan yang kedua hukum yang berada di atas politik. Yang berada di atas politik, hanya konstitusi, sedang sisanya semua berada di bawah politik. Inilah pandangan yang realistis tentang hubungan hukum dan politik. Salah satu contoh yang membuktikan kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah bahwa lahirnya undang-undang jelas karya para politisi.
Bahwa tidak dapat disangkal terdapat hubungan yang sangat erat antara hukum dan politik, antara asas-asas hukum dan pranata-pranata hukum, serta antara ideologi-ideologi    politik  dan      lembaga-lembaga          pemerintah.Sangat         sering mendengar pernyataan para yuris dengan slogan mereka bahwa : Hukum terdiri diatas dan melewati politik. Yang mereka maksudkan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan suatu masyarakat di mana para hakim tidak dikekang oleh pengaruh dogma         politik.
Pisau goresan pemikiran Curzon (1979:19) mengemukakan pandangan Ilmu Hukum Politik yang memandang pengadilan adalah alat politik di mana hakim adalah aktor politiknya, terlihat dari apa yang ditulisnya :
“..The core of political jurisprudence is a vision of the courts as political agencies and judges       as          political  actors...” Griffith (Curzon, 1979:44) melukiskan perhatiannya tentang apa yang dilihatnya sebagai peran politik para hakim Inggris. Griffith yakin bahwa para hakim membatasi kepentingan publik, yang tak terelakan dari        titik      pandang          kelompok        mereka. [3]
Dalam kontek lembaga pengadilan, Rupert Cross & P. Asterley Jones juga menginginkan peran pengadilan untuk menunjang kebijakan politik, (dikutip dari Achmad Ali, Suatu Protes terhadap Pasal 284 KUH. Pidana. Pedoman Rakyat, 30 Mei 1983) yaitu menuliskan bahwa : “The criminal law may be used not only for the prevention of wrong which are obviously deserving of punishment, but also for the achievement of the policy of the government of the day ...”.
Adapun, ada juga yang menarik, dari sudut pandang Daniel S. Lev (dalam : Judicial Institution and Legal Culture) pada bagian akhir karangannya menuliskan hubungan hukum dan kekuasaan politik sebagai berikut :
“Where cultural myths and values have emphazed means of social political regaulation and intercourse other than an autonomous sphere of law, legal institutions are consequently less likely to develop the kind of independent power they in a view Europeancountries and the United States. Even the emergency of Powerful bureaucratic establishments, essential to strong legal systems, cannot alone create common positive orientations to legal processes, specially, for example, when patrimonial values also remain strong”.Dimana mitos-mitos kultural dan nilai-nilai menekankan cara-cara pengaturan serta hubungan-hubungan sosial politik yang tidak bertolak dari wilayah hukum yang otonom, maka sebagai konsekuensinya di situ lembaga-lembaga hukum akan kurang mampu mengembangkan kekuasannya yang independen seperti yang dimiliki di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Tampilnya kekuasaan-kekuasaan birokrasi yang perkasa sekalipun, yang merupakan unsur esensial bagi adanya sistem hukum yang kuat, tidak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif terhadap bekerjanya hukum, terutama bila misalnya nilai-nilai       patrimonial      tetap    bercokol          kuat. Hukum juga seyogianya memiliki kemampuan untuk menjadi pencerminan perubahan moralitas-sosial.
Dengan demikian, pengadilan di sini dapat mewujudkan ketiga tujuan hukum secara seimbang yaitu : Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum.
Dimana fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara optimal, jika hukum memiliki kekuasaan dan ditunjang oleh kekuasaan politik. Meskipun kekuasaan politik memiliki karakteristik tidak ingin dibatasi, sebaliknya hukum memiliki karakteristik untuk membatasi segala sesuatu melalui aturan-aturannya.
Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan politik, hukum harus membatasi kekuasaan politik, agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan “menyuntikan’ kekuasaan pada hukum, yaitu dalam wujud sanksi hukum.
Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik melalui alat-alat politik lain seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Dalam hal ini, kita harus berani mengakui bahwa pengadilan bukan sekedar            alat-hukum,     tetapi   juga     alat      politik. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum tadi dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum. Harus di ingat, bahwa setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik tadi, hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya.
Perkembangan Hukum,           Masyarakat      dan      Politik
Dalam teori Max Weber tentang “The General Development of Law and Procedure”, mengemukakan terjadinya proses rasionalisasi hukum (rationalization of law is transition from substantively rational law to formally rational law). Secara garis besar perkembangan hukum menurutnya (1954: 320) sebagai berikut:
Dimulai dari pengadaan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara kharismatik. Pengadaan hukum secara demikian itu terjadi melalui apa yang disebutnya “law prophets”. Dan secara pengadaan secara “law prophets” ini sebagai pengadaan hukum yang kreatif, yang menciptakan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Berbeda dengan pengadaan hukum yang dilakukan oleh pakar-pakar hukum, sebagaimanapun selalu bertolak dari kaidah hukum yang sudah ada sebelumnya.
Tahapan pertama ini ditandai dengan mode kreasinya yang bersifat “kharismatik””, kualitas formalnya adalah “magical formalism plus irrational”, kemudian tipe keadilannya      adalah  “charismatic    justice”.
Tahap berikutnya adalah penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para “legal honoratiores” yaitu penciptaan hukum oleh “cauntelary jurisprudence”. Pada tahapan ini metodenya mengandung seni dan keterampilan yang bersifat inovatif. Pengadaan hukum tidak jatuh begitu saja dari langit, melainkan tercipta melalui proses teknis dan ketrampilan yang tinggi. Preseden memainkan peranan yang memadai di mana penciptaannya itu diikat oleh preseden itu.
Tahapan kedua ini oleh Weber ditandai denganmode kreasinya yang bersifat “empirical”, kualitas formalnya adalah “reliance on honoratiors”, dan tipe keadilannya         adalah  “khadi justice”.
Tahap ketiga adalah pembebanan (imposition) hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler atau teokratis. Tahapan ini oleh Weber ditandai dengan mode kreasinya yang bersifat “secular theoretic”, kualitas formalnya adalah “theocraticsubstantive rationality”, dan tipe keadilannya adalah “empirical justice”.
d. Tahap keempat ini hukum dengan cara sistematis dan dilaksanakan secara professional oleh orang-orang yang memperoleh pendidikan formal hukum dengan metode                       ilmiah  secara  logis     formal. Pada tahapan ini mode kreasinya bersifat “professionalised”, kualifikasi formalnya adalah “logical sublimation”, dan tipe    keadilannya       adalah  “rational          justice”. Max Weber melihat bahwa masyarakat itu selalu berkembang dari masyarakat yang kharismatik tradisional dan itu adalah tahapan yang wajar jika dilihat dari pertumbuhan masyarakat Jerman dimana      ia        hidup. Pentahapan seperti itu tidak selalu benar jika mempelajari sejarah pertumbuhan masyarakat lain, terutama masyarakat yang pernah melakukan suatu revolusi sehingga memperoleh kemerdekaan bangsa dan negaranya. Perkembangan yang dianut oleh Weber adalah perkembangan yang menunjukkan keselarasan pertumbuhan hukum dan faktor lain yang terdapat dalam masyarakatnya.
Di dalam masyarakat dari negara yang lahir dari revolusi seperti di Indonesia, perkembangan hukum dan perkembangan masyarakatnya tidak senantiasa selaras. Ada kemungkinan hukumnya sudah ada di tahap keempat, sementara beberapa sektor yang terdapat dalam masyarakatnya masih berada di tahap kedua atau ke tiga.
Dan juga di dalam masyarakat dari Negara yang lahir karena revolusi, perkembangan hukum dan perkembangan masyarakatnya belum tentu sedemikian sistematis tahap perkembangannya, karena mungkin saja pada saat masyarakat itu masih dijajah, ia masih berada pada tahap kedua atau ketiga, dan begitu revolusi berhasil, mereka secara menerabas mau mengejar ketinggalan dan meloncat memperlakukan hukum modern yang sudah berada pada tahap keempat. Akibatnya terjadi kesenjangan antara kualitas hukumnya dan kualitas masyarakatnya. Warga masyarakat tidak memahami hukum  positip yang    diberlakukan   pemerintah. Ambil contoh saja, pada masa kolonial Belanda dulu, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan hukum yang berbeda bagi orang pribumi terjajah dengan hukum bagi orang-orang asing. Kalau dilihat secara sosiologis, terlepas dari pertimbangan politis, maka sikap pemerintah Belanda waktu itu sebenarnya tepat sekali. Bagaimanapun tidaklah tepat untuk memberlakukan “hukum modern” yang berjiwa barat kepada warga masyarakat pribumi yang waktu itu masih belum terpelajar dan masih lebih banyak yang berpikiran      tradisional. Tetapi setelah Indonesia merdeka, setelah kaum pribumi menjadi tuan di negeri sendiri, maka ratusan ribu sarjana telah “dicetak”, maka sangatl tidaklah tepat kalau masih terus menerapkan berbagai aspek hukum peninggalan          colonial  Belanda           itu. Adapun di dalam perkembangan pada saat itu, di masa kolonial Belanda pun juga telah terjadi pasang surut dan pasang naik perkembangan konfigurasi politik di Indonesia, yaitu perubahan konfigurasi politik       otoriter ke       demokratis,     dan      sebaliknya. Dimana hal itu juga dapat disimpulkan bahwa performance konfigurasi politik tidak selalu sama dengan ketentuan konstitusinya. Karena semua konstitusi yang berlaku sejak Indonesia merdeka secara eksplisit menyebut “demokrasi” sebagai salah satu prinsipnya yang fundamental, tetapi dalam prakteknya yang terjadi sebaliknya.
Adapun periodisasi, perkembangan konfigurasi politik dalam periode tersebut, sebagai berikut, demokrasi Liberal (1945 – 1959), demokrasi Terpimpin (1959 -1966), Orde    Baru    (966-1998). Perlu kita tegaskan di sini, bahwa yang kita maksudkan dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian dengan kekuasaan resmi          suatu      pemerintahan   negara. Mungkin seluruh negara yang ada di dunia kini, apapun wujudnya (kerajaan atau republik; berfaham liberal atau sosialis; menggunakan sistem demokrasi ataupun otiriter/diktator) menyatakan negara mereka sebagai “negara hukum”. Olehnya itu senantiasa timbul pertanyaan, yang mana yang lebih dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan negara?
Mac Iver membedakan 2 jenis hukum. Yang pertama, hukum yang berada di bawah pengaruh politik, dan yang kedua hukum yang berada di atas politik. Yang berada di atas politik, hanya konstitusi, sedang sisanya semua berada di bawah politik. Penulis beranggapan inilah pandangan yang realistis tentang hubungan hukum dan politik. Salah satu contoh yang membuktikan kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah bahwa lahirnya undang-undang jelas karya para politisi.
Tidak dapat kita sangkal bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara hukum dan politik, antara asas-asas hukum dan pranata-pranata hukum, serta antara ideologi-ideologi    politik  dan      lembaga-lembaga          pemerintah. Kita sangat sering mendengar pernyataan para yuris dengan slogan mereka bahwa : Hukum terdiri diatas dan melewati politik. Yang mereka maksudkan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan suatu masyarakat di mana para hakim tidak dikekang oleh pengaruh dogma         politik. Ide seperti itu terasa sangat dipengaruhi oleh cara berpikir tria politica montesquieu, yang jelas-jelas memisahkan antara keuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun ide seperti itu agak berbeda dengan ide kekuasaan politik berdasarkan UUD 1945 misalnya, dimana kekuasaan presiden tidak hanya berada di bidang eksekutif semata, tetapi juga ada yang berada dalam bidang legislatif dan yudikatif. Sebagai contoh besarnya peran prsiden dalam meproduksi undang-undang; adanya kekuasaan presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Dan kekuasaan tersebut jelas konstitusional sifatnya karena berdasarkan konstitusi UUD   1945. Pertanyaan yang bisa muncul di sini, siapakah yang mengatakan bahwa ajaran trias politicanya Mostesquieu yang benar? Bukankah masih ada kemungkinan lain dari ajaran itu? Bukankah dalam sejarah kita menemukan banyak pemerintahan kuno yang sukses memakmurkan rakyatnya, tanpa melaksanakan ajaran trias politica-nya          Mostesquieu? Jika persoalan kekuasaan politik ini dikaitkan dengan peradilan, maka dengan eksistensi Mahkamah Agung, oleh yuris yang dogmatik mengharapkan bahwa, meskipun suatu pemerintah ingin menggunakan undang-undang bagi pencapaian tujuan politik, pengadilan-pengadilan tetap diharapkan untuk tetap menjauhkan diri dari kontroversi-kontroversi forum politik. Harapan semacam itu jelas agak mustahil jika kita menerima kehadiran hukum sebagai sesuatu yang tidak otonom atau mandiri. Bagaimanapun, pengaruh timbal-balik antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik senantiasa mesti terjadi. Hal ini dijelaskan antara lain oleh harry C.Bredemeier dengan konsep inputs-outputsnya.
Harry C. Breidmeier (Vilhelm Aubert, 1969:54 dst) memandang kaitan antara pengadilan dan politik, dengan melihat keadaan di Amerika Serikat. Dikatakan bahwa pencapaian tujuan yang menjadi tugas sub sistem politik dilakukan dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai dengan menetapkannya menjadi perundang-undangan. Jika Undang-undang itu kemudian digugat keabsahannya, pengadilan yang akan menjatuhkan putusannya. Pengadilan menguji perundang-undangan itu.
Keadilan adalah suatu kata yang sangat tidak jelas dan syarat dengan berbagai arti. Walau kata itu juga dipakai orang-orang tak terdidik untuk menyatakan setuju atau tidak setujunya mereka terhadap suatu situasi social dengan mengatakan bahwa keadilan telah ditegakkan atau belum ditegakkan oleh mereka, arti dari Keadilan itu sendiri masih jauh dari kejelasan. Kita menggambarkan seseorang sebagai adil jika memandang tindakannya telah sesuai dengan keadilan yang kita mengerti. Sekali lagi situasi atau tindakan atau tindakan yang bertentangan dengan keadilan dianggap sebagai tidak adil. Apa itu keadilan? Apakah Keadilan adalah suatu kebenaran Moral? Apakah keadilan adalah kata lain dari pada kebaikan? Apakah keadilan adalah persamaan daripada moralitas? Bagaimana kita membedakan keadilan dari kebaikan atau moralitas? Atasa dasar apa kita menilai suatu hukum sebagai adil atau tidak   adil? Ada banyak macam-macam pengertian mengenai masalah Keadilan tersebut, seperti hal keadilan sosial (Social Justice), keadilan komutatif (Commulative Justice), keadilan substantive (Substantive Justice), keadilan procedural (Procedural Juatice), keadilan korektif (Corrective Justice), keadilan perbandingan dan bukan perbandingan (Comparative and Comparative Justice), keadilan global (Global Justice), keadilan tertentu (Particular Justice), keadilan hukum (Legal Justice).
Para filsuf telah memikirkan pertanyaan ini sejak lama. Aristotle mendefenisikan keadilan dalam Nichmochean Ethics sebagai mmeberikan kepada seseorang apa yang due nya, memberikan kepada seseorang apa yang merupakan miliknya. Tapi bagaimana kita menentukan apa yang merupakan due upahnya lebih rendah daripada upah  minimum. Kritikan dalam apa yang disampaikan Aristoteles adalah menimbulkan pertanyaan apa yang menjadi upah minimum untuk pekerja ini? Upah apa yang merupakan due-nya? Intinya adalah bagaimana kita menentukan gaji yang berkeadilan bagi pekerja tersebut. Apakah itu berarti kita memperhitungkan desert (performa) si pekerja dalam memperhitungkan gaji minimumnya? Berapa banyak waktu yang dihabiskannya untuk bekerja? Haruskah kita memasukkan pelatihan atau skillnya dalam menghitung desert-nya? Apa yang merupakan nilai/harganya? Hal ini menimbulkan      banyak polemik. Doktrin Aristoteles “mean” yang ia terapkan dalam mendefenisikan keadilan dengan menyatakan bahwa Keadilan adalah suatu median (titik imbang) emas antara dua kutub ekstrim.
Semisal A merusak mobil B dan B meminta kompensasi yang besarnya dua kali lipat biaya untuk memperbaiki mobil. Aristoteles akan meminta  untuk menurunkan besar permintaan kompensasi yang diminta besarnya setara dengan kerugian yang diderita. Inilah yang menjadi median emas tersebut. Dan inilah yang disebut Keadilan pada kasus   ini. Plato menunjukkan bahayanya dalam meneirdma keadilan sebagaimana diatur oleh hukum. Suatu situasi yang dapat digambarkan dimana hukum melindungi kepentingan satu pihak dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Perancang hokum akan mengutamakan untuk menjaga kepentingannya sendiri selama pembuatan hokum. Pemegang kedaulatan atau penguasa dapat memasukkan pandangannya atas orang lain yang mungkin tidak adil atau benar. Bahkan dalam hal demokrasi,         hal       ini        dapat          terjadi. Jhon Rawls, dalam arti tertentu, dapat dipandang sebagai salah satu pendukung keadilan formal. Konsistensinya dalam menempatkan konstitusi dan hukum sebagai basis pelaksanaan hak dan kewajiban individu dalam interaksi sosial bias menjadi sinyal untuk ini. Jhon Rawls percaya bahwa keadilan yang berbasiskan peraturan, bahkan yang sifatnya administratif formal sekalipun tetaplah penting karena pada dasarnya ia memberikan suatu jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama harus diperlakukan secara sama. Singkatnya keadilan formal menuntut kesamaan minimum bagi segenap masyarakat. Dengan demikian, Rawls juga percaya bahwa eksistensi suatu masyarakat sangat tergantung pada pengaturan formal melalui hukum serta lembaga-lembaga           pendukungnya.
Apabila peraturan dan hukum itu sangat penting, maka konsistensi dari para penegak hukum dalam pelaksanaan peraturan dan hukum yang tidak adil sekalipun akan sangat membantu warga masyarakat untuk belajar melindungi diri sendiri dari pelbagai konsekuensi buruk yang diakibatkan oleh hukum yang tidak adil (ATJ, h. 59). Menurut Rawls, walaupun diperlukan, keadilan formal tidak bias sepenuhnya dan mendorong terciptanya suatu masyarakat yang terta baik (well ordered society). Rawls percaya bahwa suatu konsep keadilan yang hanya dapat diterima secara umum, sedangkan keadilan formal cenderung dipaksakan secara sepihak oleh penguasa. Oleh karena itu, betapapun pentingnya keadilan formal, Rawls tidak ingin berhenti pada taraf ini. Rawls menyeberangi formalisme ini dengan merumuskan sebuah teori keadilan yang lebih memberi tempat kepada kepentingan semua pihak yang terjangkau kebijakan publik tertentu. Untuk itu Rawls percaya bahwa sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair. Dengan demikian, seluruh gagasan Rawls mengenai keadilan serta pelbagai implikasinya dalam penataan sosial politik dan ekonomi harus ditempatkan dan dimengerti dalam perspektif kontrak.
Patut diakui bahwa pendekatan kontrak terhadap konsep keadilan yang dikembangkan oleh Rawls sebenarnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru Keadilan yang bersifat kontrak ini sudah lama dikembangkan oleh banyak pendahulu Rawls. Jhon Locke (1632-1704), Rousseau (1712-1774) dan Immanuel Kant (1724-1804) adalah beberapa nama yang pantas disebut pelopor teori keadilan yang bersifat kontrak. Rawls sendiri mengakuyi sumbangan-sumbangan para pendahulunya tersebut. Akan tetapi ia berpendapat teori-teori tradisional ini tidak memuaskan justru karena semuanya itu bersifat ultraistis dan intusionis. Menurut Rawls disini kita dipaksa untuk memilih diantara dua kecenderungan itu, pada hal kedua pilihan itu rawan terhadap kritik terutama yang dilancarkan dari sudut keadilan yang diilhami oleh nilai-nilai yang berbasis kontrak (ATJ, hlm. Viii).
Dengan demikian, teori keadilan Rawls berangkat dari kritiknya atas ultilitarisme dan intusionism. Kedua pandangan ini, secara mendasar bertolak belakang dengan teori keadilan yang ingin dikembangkan. Oleh karena itu, suatu uraian atas kedua teori tersebut sangat membantu kita untuk memahami gagasan pokok Rawls mengenai keadilan sebagai Fairness. Diskusi pokok ini akan meliputi gagasan Rawls mengenai person yang menjadi dasar dari konsepnya mengenai keadilan serta pendapatnya mengenai suatu masyarakat yang tertata baik, yang diharapkan menjadi tempat dimana keadilan sebagai Fairness bias diterapkan.[4]
Corak interrelasi antar kebijaksanaan atau tindakan alat pelengkapan negara dan opini sosial dalam pergaulan hidup diwarnai oleh dua faktor dapat diilustrasikan secara sederhana sebagai berikut:
1.       Corak atau pola sistim politik tertentu dalam mengawasi pelaksanaan tindakan hukum, akan mewarnai opini massa terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam menerapkan UU atau berbagai peraturan.
Apabila sistim politik tertentu memiliki mekanisme yang efektif dalam pengawasan terhadap tindakan hukum, maka pengaruhnya akan tersa dalam sifat opini sosial yang mapan dalam pegertian bahwa penugasan pendapat masyarakat dalam menilai kebijaksanaan pemerintah dalam penerapan hukum bersifat lebih objektif daripada apriori mencela, menuduh dan mengadakan reaksi melalui aksi-aksi politik.
2.       Corak dari kepentingan sosial yang merupakan tinjauan dari aturan hukum yang bersangkutan, menentukan pula warna opini sosial terhadap kebijaksanaan penerapan         hukum pada    masyarakat   tertentu.
Suatu masalah adalah kepentingan sosial berbeda pada tiap bentuk masyarakat. Pada masyarakat yang sederhana, terpencil dan relative bersifat homogeny karena defrensiasi kerja masih terbatas.[5]













BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan

Hukum dan Politik memang sulit dipisahkan, khususnya hukum tertulis mempunyai kaitan langsung dengan negara. Karena itulah Curzon (1974:44) menyatakan bahwa :
“ketika para juris melihat atau menunjuk hukum sebagai sesuatu yang berdiri dan melewati politik, maka yang dimaksud disini adalah adanya masyarakat di mana para hakimnya tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik. Karena itu, meskipun suatu pemerintah ingin menggunakan undang-undang bagi pencapaian tujuan politik, pengadilan-pengadilan tetap diharapkan untuk tetap menjauhkan diri dari kontroversi-kontroversi forum             politik.
 Hukum adalah suatu lembaga yang sangat rumit, tidak hanya terdiri dari peraturan-pertauran saja, tetapi juga meliputi masalah-masalah teknis, praktek, dan ideologi.
Kemandirian Hakim dalam metode Grand Style lebih menjamin Penemuan Hukum oleh Hakim yang lebih realistis sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi juga harus dijaga agar kemandirian Hakim itu jangan berubah menjadi tirani Hakim yang tanpa batas (absolut). Oleh karena itu Hakim senantiasa berada diantara dua titik dalam satu garis, yaitu titik keadilan (azas kepastian hukum. Hakim bebas bergerak diantara dua titik tersebut, didalam                       menghadapi          setiap    kasus.   (Casuistis).
20
 
 

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: tt,tt, 1996
Dirjosisworo, Sudjono. Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Rajagafindo Persada, 1996
Telusuri Google. Hubungan antara Hukum dan Politik” 8 Desember 2009
Telusuri Google “Pengertian Politik” 8 Desember 2009
Telusuri Google “Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas” 8 Desember 2009










21
 
 

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI                                                                                                            i
BAB      I        PENDAHULUAN                                                                            1
              A.      Latar Belakang                                                                                  1
              B.      Rumusan Masalah                                                                             2
BAB      II       PEMBAHASAN                                                                              3
A.           Pengertian Hukum dan Politik                                                          3
B.            Pengaruh Timbal Balik Hukum dan Non Hukum (Politik)              4
BAB      III     PENUTUP                                                                                       20
A.           Kesimpulan                                                                                       20
DAFTAR  PUSTAKA                                                                                            21







22
 
 

PENGARUH TIMBAL BALIK HUKUM DENGAN
NON HUKUM (POLITIK)


 






A  B  U  S  T  A  N
                                     NIM: 07.3.S.0014


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Sosiologi Hukum


STAIN WATAMPONE JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HTNI
 SEMESTER V


             
             







[1] Telusuri Google “Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas” 8 Desember 2009
[2] Telusuri Google “Pengertian Politik” 8 Desember 2009
[3] Telusuri Google. Hubungan antara Hukum dan Politik” 8 Desember 2009
[4] Achmad Ali, SH., M.H. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: tt,tt, 1996
[5] Sudjono Dirjosisworo SH. Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Rajagafindo Persada, 1996



DOWNLOAD FILE LENGKAPNYA