Makalah, Makalah Ushul Fikih Istihsan Mata Kuliah Ushul Fikih

10:29:00 PM
MAKALAH USHUL FIKIH ISTIHSAN


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat-Nya kita dilimpahkan taufiq dan hidayah, dan atas segala kemudahan yang telah diberikan kepada kita, sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Shalawat beriringkan salam semoga abadi terlimpahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya. Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini. Amin!!
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki tidak terlalu bagus. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon rahmat dan ridho-Nya.


Watampone, 05 november 2014



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGATAR                                                                                         
DAFTAR ISI                                                                                                      
BAB I PENDAHULUAN                                                                                 
A. Latar Belakang                                                                                        
B. Rumusan Masalah                                                                                   
BAB II PEMBAHASAN                                                                               
A. Pengertian Istihsan                                                                                                                                                  
B. Dasar Hukum Istihsan                                                                                                                                
C. Teknik Penggunaan Istihsan                                                                      
D. Macam-macam istihsan                                                                           
E. Pandangan ulama
BAB III PENUTUP                                                                                          
A.    Kesimpulan                                                                                             
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA                                                                                       



BAB 1
 Pendahuluan

A.                Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas.
Makalah ini akan menguraikan tentang pengertian istihsan, dasar istihsan, tehnik penggunaan istihsan, macam-macamnya dan pandangan para ulama.

B.                 Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian istihsan?
2.      Apa dasar istihsan?
3.      Bagaimana teknik penggunaan istihsan?
4.      Apa macam- macam istihsan?
5.      Bagaimana pandangan para ulama tentang istihsan?




BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan.[1] Adapun pengertian istihsan menurut istilah ushul fiqh, yaitu sebagai berikut:
1.      Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-mustasfa juz 1 : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.[2]
2.        Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil yang tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.[3]
3.      Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “istihsan adalah perbuatan adil terhadap permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.[4]

B.                 Dasar Hukum Istihsan
            Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Az-Zumar: 18
Artinya : “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan.
Menurut qiyas jali ialah qiyas yang illatnya dinyatakan secara jelas dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Menurut qiyas khafi ialah qiyas yang illatnya diistinbatkan atau ditarik dari hukum asal.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, ,menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu menerangkan qiyas khafi atas qiyas jail atau mengubah hokum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya.menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hokum berdasarkan qiyas jail atau maslahat mursalah,tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakikatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan.disamping Mazhab hanafi, golongann lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Mazhab Maliki dan sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi`i. istihsan menurut mereka adalah menetapkan hokum syara` berdasarkan keinginan hawa nafsu.imam syafi`i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan hokum Syara` hanyalah Allah SWT.” Dalam buku risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:”Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka`bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara` untuk menentukan Ka`bah itu.
“Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing. Akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab hanafi berbeda dari Istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi`i. menurut Madzhab hanafi istihsan itu semacam Qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedangkan menurut Madzhab Syafi`i istihsan timbul karena rasa kurang enak,kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik,kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dikurangi.karena itu As-Syathibi menyatakan: “Orang yang menetapkan hokum berdasarkan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata,akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hokum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara` dan sesuai dengan kaidah-kaidah syara` yang umum”. 
C.                Teknik penggunaan istihsan
Sumber hukum ialah sumber pengambilan di dalam menetapkan sesuatu hukum syarak, sama ada ia berasaskan sumber yang disepakati oleh ulama mujtahid ataupun sumber yang tidak disepakati oleh mereka. Sumber hukum dalam perundangan Islam secara umumnya dapat dibagikan kepada dua bahagian iaitu Dalil Qat’I dan Dalil Zanni.
Dalil Qat’i ialah dalil-dalil yang disepakati oleh ulama. Dalil tersebut dibahagikan kepada beberapa bahagian iaitu, Al-Quran, Al-Sunnah, Ijmak,dan Al-Qiyas. Dalil Zanni ialah dalil-dalil yang tidak disepakati oleh sebilangan ulama. Contohnya seperti Istihsan, Masalih Mursalah, Uruf, Istishab dan sebagainya.
Istihsan merupakan salah satu daripada sumber hukum perundangan Islam tetapi ianya tergolong dalam sumber hukum yang tidak disepakati. Oleh yang demikian, ulama berselisih pendapat tentang kehujahan Istihsan, ini kerana terdapat ulama yang menerima dan juga menolak Istihsan. Antara ulama yang menerima kehujahan Istihsan ialah ulama Hanafiah, Imam Malik dan sebahagian ulama Hanbali. Manakala pula, antara ulama yang menolak kehujahan Istihsan ialah Imam Shafie dam ulama shafi’I serta sebahagian ulama Hanbali.
Ulama yang menerima Istihsan berpendapat bahawa Istihsan adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan awam. Manakala pula, menurut sebahagian ulama yang menolak kehujahan Istihsan, jika Istihsan dibenarkan ini boleh membuka jalan ke arah penggunaan akal fikiran tanpa sekatan yang mana ia terdedah kepada kesilapan dalam menetapkan hukum. Hal ini kerana hukum akan dibuat berdasarkan nafsu dan fikiran, sedangkan yang berhak membuat hukum adalah Allah s.w.t.



D.                Macam- macam istihsan
1.         Istihsan Dengan Nas
Istihsan dengan nas bermaksud perkara pada setiap masalah yang menunjukkan hukum yang bertentangan dan berbeza dengan kaedah yang ditetapkan yang mempunyai nas daripada Allah SWT.
Dengan kata lain, istihsan ialah suatu nas khusus yang khusus daripada Allah SWT tentang juzuk tertentu hingga hukumnya bertentangan atau berbeza daripada hukum asal walaupun pada masalah yang sama yang sabit dan ianya menjadi kaedah umum. Contohnya Puasa tidak batal apabila makan secara tidak sengaja disebabkan lupa. Menurut kaedah umum dan al-Qiyas, puasa seseorang batal kerana ia tidak menahan diri daripada memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan. Namun hukum itu dikecualikan daripada kaedah umum berdasarkan hadis Baginda saw :
“Barang siapa yang terlupa sedangkan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempunakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberi makan dan minum kepadanya”. ( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan At-Tarmizi dan Abu Daud dan Ibnu Majah.
2.    Istihsan Dengan Ijmak
Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Istihsan dengan ijmak ialah suatu peralihan daripada hukum pada satu-satu masalah yang telah menjadi kaedah umum kepada hukum yang diistinbat melalui ijmak. Ia terhasil setelah ulama’ mujtahid berfatwa tentang sesuatu masalah yang berlawanan dengan kaedah umum mengenai masalah yang serupa dengannya.
 Dalam keadaan lain, para mujtahid berdiam diri dan tidak mengingkarkan apa yang dilakukan oleh masyarakat, yang mana ia bertentangan dengan kaedah umum yang ditetapkan. Sebagai contoh, tidak sah jual salam jika diqiyaskan kepada akad jual beli, kerana benda yang diakadkan belim wujud ketika akad. Oleh kerana jual salam adalah baik dan perlu dalam masyarakat , maka ulama’ mengira baik dan harus. Contoh lain adalah bayaran menggunakan bilik air dan al-istisna’.
3.    Istihsan Berdasarkan Uruf
Istihsan bi al-Urf  ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.
Hal tersebut berlaku pada masalah yang menjadi amalan dan kebiasaan masyarakat dan ia bertentangan dengan kaedah umum.Contohnya, menurut fiqh mazhab Hanafi,antara prinsip umum harta wakaf hendaklah berkekalan.Berdasarkan prinsip ini,maka tidak harus mewakafkan harta yang mudah dipindahkan kerana ia menunjukkan tidak berkekalan.Sebaliknya,Imam Muhammad bin Hassan dari mazhab Hanafi mengharuskan wakaf sama ada harta yang mudah dipindahkan kerana ia menjadi kebiasaan atau adat masyarakat mewakafkannya seperti buku-buku.Ia dibolehkan atas dasar istihsan yang menyalahi prinsip umum dan pegangan Imam Abu Hanafiah sendiri. Inti pokok dari  perubahan status tanah kallafbukan materialnya, melainkan kpda mnfaatnya. Selama melahirkan manfaat bagi  perubahan status itu, maka perubahan itu menjadi tidak  di larang. Akan  tetapi jik menghilaangkan manfaat maka tentu sja di larang, bila materi wakaf itu sudah bermanfaat lagi, maka boleh  saja di lakukan perubahan statussnya pada yang beerrmanfaat.[5]
4.    Istihsan Berdasarkan Maslahah
Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
Antara contoh penggunaan istihsan ini ialah mengikut prinsip umum,tidak harus diberikan zakat kepada Bani Hasyim.Tetapi sebaliknya Abu Hanifah mengharuskan memberi zakat kepada mereka dizaman beliau berdasarkan istihsan.Iaitu untuk menjaga kepentingan mereka daripada diabaikan.
5.    Istihsan Berdasarkan Dharurah
Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan.
Antara contoh permasalahan:Membersihkan perigi bernajis.Mengikut kaedah umum atau al-Qiyas,perigi tersebut tidak akan bersih walaupun ditimba sebahagian atau semua air dalamnya.Hal tersebut kerana,menimba sebahagian. Air di dalamnya tidak memberi kesan atau tidak menyebabkan baki air yang ada itu bersih.Begitu juga jika ditimba semua air pun tidak akan membersihkan air yang baru keluar dari mata air dalam perigi tersebut.Justeru itu,air dalam perigi tersebut diharamkan bersih atau tidak akan bersih walaupun ditimba semua air bernajis.Oleh itu diharuskan mengambil air dari perigi tersebut kerana darurat dan diperlukan.
6.    Istihsan Berdasarkan Qiyas al-Khafiyy
Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.[6]Keadaan ini berlaku terhadap masalah yang mana bercamtum di antara dua qiyas. Di mana salah satu jelas illahnya dan satu lagi tidak jelas illahnya.Istihsan jenis ini ialah dengan mengeluarkan hukum berasaskan qiyas yang tidak nyata.

E.                 Pandangan ulama
Sumber hukum ialah sumber pengambilan di dalam menetapkan sesuatu hukum syarak, sama ada ia berasaskan sumber yang disepakati oleh ulama mujtahid ataupun sumber yang tidak disepakati oleh mereka. Sumber hukum dalam perundangan Islam secara umumnya dapat dibahagikan kepada dua bahagian iaitu Dalil Qat’I dan Dalil Zanni.
Dalil Qat’i ialah dalil-dalil yang disepakati oleh ulama. Dalil tersebut dibahagikan kepada beberapa bahagian iaitu, Al-Quran, Al-Sunnah, Ijmak,dan Al-Qiyas. Dalil Zanni ialah dalil-dalil yang tidak disepakati oleh sebilangan ulama. Contohnya seperti Istihsan, Masalih Mursalah, Uruf, Istishab dan sebagainya.(Abdul Latif Muda 1997:62)
Istihsan merupakan salah satu daripada sumber hukum perundangan Islam tetapi ianya tergolong dalam sumber hukum yang tidak disepakati. Oleh yang demikian, ulama berselisih pendapat tentang kehujahan Istihsan, ini kerana terdapat ulama yang menerima dan juga menolak Istihsan. Antara ulama yang menerima kehujahan Istihsan ialah ulama Hanafiah, Imam Malik dan sebahagian ulama Hanbali. Manakala pula, antara ulama yang menolak kehujahan Istihsan ialah Imam Shafie dam ulama shafi’I serta sebahagian ulama Hanbali.
Ulama yang menerima Istihsan berpendapat bahawa Istihsan adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan awam. Manakala pula, menurut sebahagian ulama yang menolak kehujahan Istihsan, jika Istihsan dibenarkan ini boleh membuka jalan ke arah penggunaan akal fikiran tanpa sekatan yang mana ia terdedah kepada kesilapan dalam menetapkan hukum. Hal ini kerana hukum akan dibuat berdasarkan nafsu dan fikiran, sedangkan yang berhak membuat hukum adalah Allah s.w.t.
Menurut Mazhab Hanafi terdapat dua pengertian iaitu :
 Qiyas yang tersembunyi illahnya kerana halusnya atau jauhnya dari ingatan hati lagi berlaku didalam keadaan menentang Qiyas yang jelas illahnya kerana bersegeranya kepada ingatan hati pada peringkat permulaan.
Dikecualikan masalah sempurna daripada konsep menyeluruh atau kaedah
umum kerana ada dalil khusus yang mengkehendaki pengecualian itu sama
ada dalil khusus itu terdiri daripada nas atau keadaan yang memaksa (darurat)
atau uruf atau kepentingan (maslahat) atau lainnya.
a.                   Menurut Mazhab Maliki Istihsan ialah :
Mengutamakan tinggal sesuatu dalil dan membolehkan menyalahinya kerana ada dalil lain menentang sebahagian daripada kehendaknya.(Hassan Ahmad 1998:302)
b.                  Menurut Mazhab Hanafi :
Berpaling didalam menghukum sesuatu masalah daripada masalah-masalah yang sebanding dengannya kerana ada dalil yang khusus terdiri dari Al-Quran atau Sunnah. Sesudah Abu Hanifah menjadi seorang mujtahid dan ahli falsafah dalam bidang hukum, istilah istihsan sering digunakan sehingga penggunaannya hampir sama dengan qiyas. Umpamanya Abu Hanifah berkata: “qiyas memutuskan begini, sedang istihsan memutuskan begitu. Kami mengambil istihsan. Qiyas memutuskan begini, akan tetapi kami beristisan, andaikata tidak ada riwayat tentulah saya menggunakan qiyas. Kami menetapkan demikian dengan jalan istihsan, tidak bersesuaian dengan qiyas”.(Dr Abdul Wahhab Khallaf,1984) Sebelum Abu Hanifah menggunakan istilah istihsan, ulama-ulama sebelumnya telah menggunakan istilah ini.
 Iyas ibn Mu’awiyah seorang hakim dalam pemerintahan Umaiyah pernah berkata:
“tidaklah saya menemukan qadhi, melainkan apa yang dipandang baik manusia
Imam Abu Hanifah terkenal sebagai seorang ahli hukum yang amat pandai menggunakan sumber istihsan dan banyak merujuk masalah-masalah berdasarkan sumber istihsan. Imam Abu Hanifah hampir-hampir digelar ‘imam Istihsan’ sebagaimana beliau digelar imam ahlul ra’yi.
Antara contoh penggunaan istihsan menurut ulamak Hanafiah terbahagi kepada dua iaitu: Contohnya adalah seperti berikut
1)             Istihsan Yang Dalilnya Qiyas Khafiy.
Wanita berhaid harus membaca Al-Quran berdasarkan istihsan dan haram berdasarkan al-Qiyas. Pengharamannya berdasarkan kepada al-Qiyas, kerana ianya di qiyaskan dengan orang yang berjima’ yang mana Illah ( sebabnya) sama iaitu kedua-duanya sama dalam keadaan tidak suci dan diharamkan membaca al-Quran. Walau bagaimanapun, hukumnya adalah harus bagi seorang perempuan yang dalam keadaan haid untuk membaca Al-Quran berdasarkan istihsan. Ini kerana haid dan berjima’ tidak sama dari sudut waktu. Masa haid lama manakala masa berjima’ adalah sekejap. Oleh itu wanita yang dalam keadaan haid diharuskan membaca Al-Quran, jika tidak beerti dalam tempoh haid yang lama itu ia tidak dapat beibadat dengan membaca Al-Quran, sedangkan lelaki dapat membacanya sepanjang masa.
Menurut ulama’ Hanafiah dan menurut al-Qiyas terang ( jaliy ), sisa burung helang adalah najis dan haram, kerana ia diqiyaskan dengan sisa binatang buas yang lain, seperti harimau dan serigala. Berdasarkan dagingnya haram dimakan. Menurut Istihsan pula, sisa burung helang dan burung penyambar yang lain tidak najis, kerana binatang tersebut makan dan minum menggunakan paruh dan ia adalah suci apabila diqiyaskan dengan mulut manusia yang bersih. Oleh itu, walaupun dagingnya haram dimakan tetapi air liur yang keluar daripada dagingnya tidak bercampur dengan sisa makanan yang dimakannya kerana ia minum dengan menggunakan paruh bukan lidah.Walaubagaimanapun, sisa binatang buas tetap haram menurut istihsan dan al-Qiyas kerana ia minum dengan menggunakan lidah yang bercampur dengan air liur yang najis.
2)             Istihsan Yang Pengecualian Dalilnya Adalah Maslahah.
Contohnya adalah seperti berikut :                    
a.         Hukum syarak menegah melakukan akad atau jual beli terhadap barangan yang tidak ada waktu akad. Berdasarkan Istihsan, harus akad pada jual beli saham, sewa menyewa, upah mengupah atau membuat tempahan atau semua bentuk urusan barangan yang tiada pada waktu akad. Hujah dan alasan penggunaan istihsan adalah kerana manusia memerlukan dan sudah menjadi kebiasaan mereka menjalankan urusan dengan cara tersebut.
b. Ulamak menetapkan orang bodoh ( safih ) tidak sah tasarruf atau tabarrru’ yang berkaitan dengan harta milik mereka. Namun begitu, istihsan mengharuskan dan mengecualikan mereka tasarruf dengan mewakafkan harta untuk diri mereka sewaktu mereka hidup. Penggunaan Istihsan ialah atas dasar menjaga harta mereka daripada habis dan dibelanjakan dengan sia-sia.
Muhammad Ibnul Hasan berkata:                
“mengetahui masalah-masalah istihsan menurut para fuqaha adalah salah satu syarat ijtihad, sama dengan mengetahui dalil-dalil yang lain”.
Abu Hanifah sendiri tidak menegaskan definisi istihsan itu, dari pendapatnya, istihsan digunakan sebagai dalil-dalil hukum yang digunakan untuk menentang qiyas dan menguatkan istihsan itu bila ia bertentangan dengan qiyas. Maksud istihsan adalah tidak terang, terkecuali pada beberapa masalah yang merupakan hadis atau athar.
Beliau sering berkata: “Andaikata tidak ada athar, tentulah saya berpegang pada qiyas. Andaikata tidak ada riwayat, tentulah saya berpegang pada qiyas.”
Tidak boleh dikatakan bahawa Abu Hanifah, Malik, dan sahabat-sahabat beristihsan tanpa menggunakan dalil-dalil yang syarak, tetapi sebenarnya mereka tidak menerangkan dalil-dalil yang telah mereka maksudkan, dan yang sebenarnya mereka kehendaki dengan pendapat itu. Hal ini tidaklah begitu menghairankan, kerana masa itu belum lagi terjadi masa pentakrifan istilah-istilah baru. Masa itu adalah masa ijtihad dan mereka itu diakui oleh masyarakat sebagai ahli-ahli ijtihad. Imam Syafie menyerang dengan amat tajam bila beliau mendengar pengikut-pengikut Imam Abu Hanifah menggunakan istihsan ketika berdiskusi dengan beliau tanpa menerangkan maksud istilah itu.
c.                   Menurut Mazhab Shafie :
Sesuatu perkara yang difikirkan baik oleh mujtahid.  Para ulamak mentakrifkan Istihsan sebagai beralih dari Qiyas jaliy kepada Qiyas khafiy atau mengecualikan masalah juz’iyyah dari asal yang kulliy atau kaedah yang umum berdasarkan kepada dalil yang menyebabkan peralihan ini. Antara ciri-ciri Istihsan ialah beralih dari menggunakan Qiyas jaliy kepada menggunakan Qiyas khafiy berdasarkan dalil tertentu. Selain itu juga,cirri Istihsan ialah menggunakan sesuatu masalah dari asal atau kaedah yang umum berdasarkan kepada dalil tertentu.
Secara rumusannya Istihsan adalah beralih daripada hukum yang diistinbatkan melalui Qiyas jaliy kepada hukum yang dikeluarkan melalui Qiyas khafiy atau pengecualian satu-satu masalah juz’iyyah daripada kaedah yang berbentuk kulliy kerana terdapat dalil lain yang lebih disenangi oleh seseorang mujtahid untuk berbuat demikian.
Dalam Ar Risalah Imam Syafie berkata: “sesungguhnya haram atas seseorang menetapkan sesuatu dengan jalan istihsan, apabila istihsan itu menyalahi hadis. Dan tidak boleh lagi seseorang mengatakan: ‘saya beristihsan tidak menggunakan qiyas’. Andaikata kita boleh mengenepikan qiyas, bolehlah bagi ahli-ahli akal dari orang yang tidak mempunyai ilmu mengatakan sesuatu yang tidak ada hadis terhadapnya dengan menggunakan dasar istihsan. Istihsan itu sebenarnya hanya mencari enak saja” .
Dalam kitab Ibtal al-Istihsan, Imam Syafie menerangkan dalil-dalil yang menegaskan bahawa para mufti tidak boleh berfatwa dengan istihsan, kerana kalu berfatwa dengan istihsan bererti dia telah menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah, al-ijmak dan qiyas. Dan bererti dia mengikuti pendapatnya sendiri. Dalam kitab Risalah Al Usul, Daud menegaskan: “Sesungguhnya menetapkan sesuatu dengan qiyas tidak wajib, dan menggunakan istihsan tidak boleh”.





BAB III
PENUTUP

Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari mudarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda.
 Dasar hukum istihsan adalah al-qur’an dan as-sunnah dan istihsan adalah hujjah.
Istihsan adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan awam.
Istihsan terbagi atas 6 macam yaitu, Istihsan Dengan Nas,ijmak, Uruf ,dharurah, maslahah dan al- khafyy
Disini dapat dirumuskan bahwa perselisihan di antara ulamak mujtahid dan imam mazhab tersebut mengenai kehujahan istihsan merupakan perselisihan dari segi lafaz sahaja. Hal ini terjadi disebabkan tidak sama pengertian yang diberikan. Sebenarnya antara mereka tiada perselisihan, kerana matlamat mereka adalah satu iaitu membawa kebaikan untuk masyarakat, agama dan membawa kebenaran serta berhati-hati dan teliti dalam mengeluarkan hukum.






BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Ibnu. Radd al-mukhtar. Juz IV. (Cet.II; Mustafa al-Halabi; Mesir, 1996), h. 447
Al-Syatibi, Abu Ishak, “al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” (Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975) hal. 74
Al-Syarahsi. “Ushul al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993), hal. 200
Khalaf, Abdul Wahab, “Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991) hal.79
Qur’an  surah az-zumar ayat 18
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm 402



[1]Al-Syarahsi. “Ushul al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993), hal. 200

[2]Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991) hal.79

[3]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm 402
[4]Ibid. hlm 401
[5]Ibnu abidin. Radd al-mukhtar. Juz IV. (Cet.II; Mustafa al-Halabi; Mesir, 1996), h. 447
[6] Abu Ishak Al-Syatibi, “al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” (Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975) hal. 74

Artikel Terkait

Previous
Next Post »