Resume, Kepribadian Guru Sosilogi Pendidikan

9:11:00 PM
KEPRIBADIAN GURU



A.     Pribadi Guru
Guru merupakan sumber pengetahuan utama bagi murid-muridnya namun pada umumnya orang tidak memandang guru sebagai orang yang pandai yang mempunyai intelegensi yang tinggi. Orang yang berilmu tinggi akan menjadi dokter atau insinyur dan tidak menjadi guru, walaupun dalam kenyataan terbukti bahwa guru yang beralih jabatannya dapat melakukan tugasnya dengan baik sebagai jenderal, gubernur, menteri, duta besar, bupati atau camat, juga sebagai usahawan, seniman pengarang dan sebagainya.
Guru memang ada lainnya dengan pekerja lain.Guru wanita bila dibandingkan dengan gadis atau wanita lain yang bekerja di kantor, bersifat lebih serius, berpakaian lebih konserfatif karena enggan mengikuti mode terbaru, bahkan tak malu menggunakan pakaian yang sama berulang-ulang. Guru lebih kritis terhadap kelakuan orang lain, mungkin karena telah terbiasa mengecam kelakuan murid. Guru wanita tidak mudah bergaul dengan sembarangan orang.dalam hiburan seperti menonton bioskop ia membatasi diri dan tak suka berjumpa dengan murid ditempat serupa itu.
B.     Perkembangan Pribadi Guru
Kepribadian guru terbentuk atas pengaruh kode kelakuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat dan sifat pekerjaannya. Guru harus menjalankan peranannya menurut kelakuannya dalam berbagai situasi social. Kelakuan yang tidak sesuai dengan peranan itu akan mendapat kecaman dan harus dielaknya. Sebaliknya kelakuan yang sesuai akan dimantapkan dan norma-norma kelakuan akan di internalisasikan dan menjadi suatu aspek dari kepribadiannya.
Dalam situasi kelas guru menghadapi sejumlah siswa yang harus dipandangnya sebagai anaknya. Sebaliknya murid-murid akan memperlakukannya sebagai bapak dan ibu guru. Berkat kedudukannya maka guru di dewasakan, dituakan sekalipun menurut usia yang sebenarnya belum pantas menjadi orang tua.
Orang tua murid akan memandang guru sebagai “partner” yang setaraf kedudukannya dan mempercayakan anak mereka untuk diasuh oleh guru. Dalam menjalankan peranannya sebagai guru ia lambat laun membentuk kepribadiannya. Ia diperlakukan oleh lingkungan sosialnya sebagai guru dan ia akan bereaksi sebagai guru pula.Ia menjadi guru karena diperlakukan dan berlaku sebagai guru.
Apa yang terjadi dengan guru juga terdapat pada orang lain yang mempunyai kedudukan dan peranan tertentu. Seorang bupati, gubernur atau mentri akan diperlakukan oleh lingkungan sosialnya dengan kehormatan yang layak diberikan kepada orang berpangkat tinggi. Berkat perlakuan itu bupati atau pejabat tinggi itu akan membentuk pribadinya yang sesuai dengan jabatannya. Cara berbicara, senyum, berjalan, duduk, berpakaian, akan disesuaikannya dengan peranannya yang lambat laun menjadi ciri kepribadianya yang mungkin akan melekat pada dirinya sepanjang hidupnya walaupun ia telah meninggalkan jabatannya.
Namun ada pula orang yang hanya berkelakuan menurut jabatannya selama ia menjalankan peranan itu, seperti pegawai kantor, saudagar, supir dan lain-lain. Diluar pekerjaannya ia bebas berkelakuan menurut kehendaknya tanpa terikat oleh jabatannya. Akan tetapi guru diharapkan senantiasa berkelakuan sebagai guru selama 24 jam sehari. Apa saja dilakuannya, kapan saja, apakah ia makan direstoran, menonton bioskop, menerima tamu dirumah ia harus senantiasa sadar akan kedudukannya sebagai guru. Ia harus mempertimbangkan film apa yang ditontonnya, di restoran mana ia makan, bagaimana ia harus berpakaian sewaktu  menerima tamu.
Kedudukannya sebagai guru akan membatasi kebebasannya dan dapat pula membatasi pergaulannya.Ia tidak akan diajak melakukan kegiatan yang rasanya kurang layak bagi guru. Ia akan mencari pergaulannya terutama dari kalangan guru yang sependirian dengan dia.
C.     Ciri-Ciri Stereotip Guru
Peranan guru mempengaruhi kelakuannya, karena tuntutan dan harapkan masyarakat dari guru banyak persamaannya, maka ciri-ciri kepribadian guru juga banyak menunjukkan persamaan. Menurut suatu penelitian pada umumnya terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Guru tidak memperlihatkan kepribadian yang fleksibel. Ia cenderung mempunyai pendirian yang tegas dan mempertahankannya.Ia kurang terbuka bagi pendirian lain yang berbeda, karena sifat ini ia sulit melihat kebenaran pendapat orang lain atau cara orang lain memecahkan suatu masalah. Guru tidak suka diberi pertanyaan oleh murid, apalagi menerima jawaban yang berbeda dengan guru.
2.      Guru pandai menahan diri, hati-hati dan tidak segera menceburkan diri dalam pergaulan dengan orang lain, karena itu ia tidak dapat memberikan partisipasi penuh dalam kegiatan social.
3.      Guru cenderung untuk menjauhkan diri karena hambatan batin untuk bergaul secara intim dengan orang lain. Orang lain juga sukar untuk mengadakan hubungan akrab dengan guru.
4.      Guru berusaha menjaga harga diri dan merasa keterikatan kelakuannya pada norma-norma yang berkenaan dengan kedudukannya. Baginya guru itu orang terhormat dan karena itu ia harus berkelakuan sesuai dengan kedudukannya. Baginya guru itu orang terhormat dan karena itu ia harus berkelakuan sesuai dengan kedudukan itu.
5.      Guru cenderung untuk bersikap otoriter dan ingin “menggurui” dalam diskusi. Sebagai orang yang serba tahu dalam kelas ia akan memperhatikan sikap yang sama di luar kelas.
6.      Guru cenderung bersikap konservatif baik dalam pendiriannya maupun dalam hal-hal yang lahiriah seperti mengenai pakaian. Sebagai guru ia bertugas untuk menyampaiakn kebudayaan nenek moyang kepada generasi mudah dan dengan demikian turut mempertahankan dan mengawetkan kebudayaannya.
7.      Guru pada umumnya tidak didorong oleh motivasi yang kuat untuk menjadi guru. Seorang memasuki lembaga pendidikan guru, sering karena pilihan lain tertutup.
8.      Guru pada umumnya tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk mencapai kemajuan.
9.      Guru lebih cenderung untuk mengikuti pimpinan dari pada memeberi pimpinan.
10.  Guru dipandang kurang agresif dalam menghadapi berbagai masalah.
11.  Guru cenderung untuk memandang guru-guru sebagai kelompok yang berbeda dari golongan pekerja lainnya.Kecenderungan ini turut menimbulkan stereotip guru.
12.  Guru menunjukkan kesediaan berbakti dan berjasah.
D.     Memilih Jabatan Guru
Sukar memperoleh data yang objektif tentang pribadi calon guru dan alasan untuk memilih pekerjaan sebagai guru. Bila calon-calon ditanyakan tentang alasan mereka memilih pekerjaan guru, biasanya mereka menjawab bahwa pilihan itu sesuai dengan citi-cita untuk berbakti kepada nusa dan bangsa dengan mendidik generasi muda. Kita tidak tau berapa diantara mereka yang sebenarnya tidak berhasil memasuki perguruan tinggi lain yang lebih mereka perioritaskan.Bial kita tanyakan pada murid-murid di SMA jarang ada yang ingin menjadi guru.
Memilih jabatan sering tidak dilakukan secara rasional. Lulusan SMA tidak bebas memilih memperoleh jurusan atau fakultas menurut keinginan masing-masing, karena keterbatasan tempat dan banyaknya calon, maka seorang menerima apa saja yang diperoleh dan merasa beruntung walaupun tempat itu tidak sesuai dengan keinginan atau bakatnya. Studi khusus yang mendalam perlu dilakukan untuk meneliti riwayat hidup dan motivasi individu yang bersangkutan.
Dalam penelitian tentang latar belakang social mereka yang memiliki profesi guru ternyata kebanyakan yang berasal dari golongan rendah atau menengah rendah seperti anak petani, pegawai rendah, saudara kecil walaupu  ini tidak berarti bahwa semua anak-anak golongan ini akan memilih jabatan sebagai guru.
Profesi keguruan, khususnya pada tingkat SD, makin lama makin banyak dipegang oleh kaum wanita, bahkan di Jepang guru tingkat SD selalu dimaksud ibu guru. Lambat laun guru-guru wanita juga mengajar pada tingkat SMA bahkan perguruan tinggi. Bila guru kebanyakan wanita seperti di SD maka jabatan guru akan diidentifikasikan dengan pekerjaan wanita sehingga kaum pria akan menjauhinya bila terbuka pekerjaan lain.
Dalam kenyataan dilihat bahwa guru-guru menuujukkan kepribadian tertentu sesuai dengan jabatannya. Memilih jabatan itu terbenuk selama menjalani pendidikan atau setelah mereka bekerja sebagai guru dan menyesuaikan diri dengan norma kelakuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat dalam interaksi social.
Di Amerika Serikat ternyata banyak guru khususnya pria, yang menggunakan pekerjakan guru sebagai batu loncatan, juga di negara kita pada waktu revolusi banyak kesempatan untuk pindah pekerjaan yang banyak digunakan oleh guru-guru. Mereka yang terdidik sebagai guru, khususnya jurusan IKIP banyak mencari pekerjaan diluar keguruan yang rasanya memberi kepuasan kerja yang lebih besar.
Dalam kelas guru memegang posisi yang sangat berkuasa. Ia dapat menegur dan menghukum tiap pelanggaran. Guru berpribadi buruk dapat menyalagunakan kekuasaan dalam bentuk sadisme yang sangat merugikan anak dan dirinya sendiri, karena itu larangan memberikan hukuman fisik harus di pertahankan. Orang yang mempunyai gangguan mental hendaknya jangan menjadi guru.
Kebanyakan guru bekerja dengan penuh dedikasi dengan menunjukkan kesediaan yang tinggi untuk berbakti kepada pendidikan anak dan masyarakat, sekalipun guru tidak menonjolkan upah finansial, ia juga manusia biasa yang harus menghidupi keluarganya. Maka sudah selayaknya nasib guru senantiasa mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat.
E.     Ketegangan Dalam Profesi Keguruan
Adapun ketegangan dalam profesi keguruan antara lain:
1.      Tiap pekerjaan mengandung aspek-aspek yang dapat menimbulkan ketegangan. Ketegangan itu tidak hanya ditentukan oleh sifat pekerjaan akan tetapi juga bergantung pada orang yang melakukannya. Tiap orang yang ingin mencari kepuasan dalam pekerjaannya, akan tetapi kepuasan itu tidak selamanya diperoleh, karena ada yang menghalanginya. Ketegangan timbul sebagai akibat hambatan untuk mencapai kepuasan yang dicari individu dan kedudukannya. Sifat ketegagan itu bergantung pada apa yang dicapai seseorang dalam pekerjaannya atau keterlibatannya dalam pekerjaan itu. Kepuasan yang dicari oleh individu berbeda-beda. Pekerjaan yang memberi kepuasan kepada seseorang belum tentu membeir kepuasan kepada orang lain.
Jabatan guru tidak dapat dikatakan menjadi idaman bagi kebanyakan pemuda. Walaupun tugas itu mulia, akan tetapi tidak selalu memberi kepuasan yang dicari orang dalam jabatannya.
Adapun yang diharapkan guru dari jabatannya antara lain:
a.       Keuntungan ekonomis, imbalan, finansial, gaji atau uang. Gaji yang tinggi memberi kesempatan untuk menabung, mendirikan rumah, membiyai pendidikan anak dan sebagainya. Pendapatan yang cukup memberi rasa aman untuk masa depan baginya dan bagi keluarganya.
b.      Status, kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, penghargaan yang mempertinggi harga diri di hadapan orang-orang lain.
c.       Otoritas kewibawaan, kekuasaan atas orang lain, mengatur orang lain, merasa diri sebagai  “bos”, dapat memerintah orang lain dalam hal ini murid-murid.
d.      Ststus professional. Merasa diri memiliki kesanggupan khas yang diperoleh berkat pendidikan yang tidak dimiliki orang lain.
2.      Gaji pegawai pada umumnya tidak tinggi dibandingkan dengan gaji orang di negara-negara yang maju, atau dibandingkan dengan guru di Malaysia atau Singapura. Walaupun gaji guru tidak lebih rendah dari gaji resmi pegawai-pegawai lain namun pendapatannya pada umumnya lebih rendah. Secara finansial jabatan guru tidak akan membuat seorang jadi kaya. Bukan hanya di negara kita, juga di negara-negara lain, guru banyak mengeluh tentang gajinya. Di U.S.A, misalnya gaji buruh kasar sering melibihi gaji guru.
Guru-guru pada umumnya tidak begitu melibatkan diri dalam usaha mencari uang, namun menginginkan adanya jaminan ekonomis, agar dapat menutupi biaya kehidupan sehari-hari menurut keperluannya. Untuk mencari jaminan guru atau anggota keluarganya sering terpaksa mencari sumber-sumber finansial lain. Jadi aspek finansial dapat menimbulkan ketegangan dikalangan guru.
3.       Mengenai status guru dalam masyarakat, dapat kita selidiki pendapat orang banyak. Seorang peneliti meminta orang menilai status guru dari daftar yang berisi 90 macam pekerjaan. Pada waktu itu guru menduduki tempat ke-36, sedikit diatas  rata-rata. Jadi status guru tidak ditetapkan orang pada tempat yang tinggi dan juga tidak pada tempat yang rendah. Penelitian yang serupa itu dapat kita lakukan juga di negara kita. Tentu perlu dibedakan berbagai tempat guru seperti guru SD, SMTP, SMTA, dosen, PT atau guru besar.
Guru sendiri tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai statusnya ditengah-tengah jabatan lain. Bila ia beranggapan bahwa guru yang melakukan tugas yang begitu mulia itu memiliki kedudukan yang tinggi, mungkin ia akan mengalami ketegangan dan frustasi melihat kenyataan bahwa guru itu memang dihormati, tetapi tidak diberi status yang tinggi dibandigkan dengan jabatan lain, karena pertimbangan orang banyak didasarkan atas aspek finansia danl bukan hakikat pekerjaan guru.
Guru banyan berasal dari golongan rendah atau menengah rendah dan memandang jabatan sebagai guru, status guru yang tidak begitu tinggi di mata masyarakat dan status yang tidak jelas bagi guru sendiri mungkin akan mengecewakannya dan dapat mengganggu kestabilan kepribadiannya. Status guru yang tidak jelas ini dapat menjadi sumber ketegangan bagi orang yang mencari kenaikan statusnya melaluai jabatannya.
4.      Sumber ketegangan lain bagi guru ialah otoritas guru untuk menghukum atau memberi penghargaan pada peserta didik. Tidak selalu sama pendapat masyarakat apa yang harus dihargai dan dihukum, sehingga dapat menimbulkan ketegangan. Semua orang tua menginginkan adanya disiplin, akan tetapi jika anaknya diberi hukuman, karena terlambat sedikit atau terdapat merokok, ada orang tua yang menganggap hukuman itu terlalu keras atau tidak pada tempatnya. Sebaliknya ada orang tua yang menginginkan agar anaknya diberi hukuman yang keras bahkan kalau perlu diberi hukuman jasmani yang tidak dapat diterima oleh guru. Demikianlah guru berada pada titik silang berbagai harapan dan tuntutan yakni dari pihak orang tua dan masyarakat, dari pihak sekolah dan atasan dan dari tuntutan profesi dan keguruan yang dipengaruhi oleh berbagai aliran. Guru diharapkan agar mematuhi berbagai tuntutan dan berusaha memelayani permintaan berbagai pihak yang mungkin saling bertentangan sehingga dapat menimbulkan ketegangan pada guru.
5.      Ketegangan juga dapat ditimbulkan oleh persoalan apakah pekerjaan guru dapat diakui sebagai profesi. Tanpa melalui pendidikan keguruan seorang dapat mengajar, hal yang tidak mungkin terjadi dengan profesi kedokteran atau hukum. Diadakannya akta V dapat dipandang sebagai pengakuan atas perlunya pendidikan khusus keguruan agar dapat mengajar dengan tanggung jawab.
6.      Sumber ketegangan juga terletak dalam pekerjaan guru didalam kelas. Disitu diuji kemampuannya dalam profesinya, kesanggupannya untuk mengatur proses belajar mengajar agar berhasil dengan baik sehingga dapat memuaskan setiap murid. Gangguan disiplin, kenakalan, kemalasan, ketidakmampuan atau kebodohan anak dapat menjadi sumber ketegangan dan frustasi bagi guru yang benar-benar melibatkan diri dalam proses itu.
Keberhasilan guru dalam membantu anak dalam pelajarannya akan member kepuasan bagi guru yang menjunjung tinggi profesi keguruannya dan kurang menghiraukan penghargaan finansialyang diperoleh dari jabatannya. Kegagalan dalam hal ini akan menimbulkan frustasi yang dapat mempengruhi kepribadiannya.
F.      Gangguan Fisik Dan Mentak Guru
Menentukan hubungan kausal antara penyakit guru dan pekerjaannya tidak mudah. Penyakit yang diderita oleh guru seperti batuk-batuk. Bukan penyakit yang hanya terdapat pada guru saja, tapi orang lain juga dapat merasakannya, namun kebanyakan guru yang dapat merasakan penyakit tersebut.
Demikian juga halnya gangguan mental pada guru. Menurut laporan di salah satu rumah sakit di U.S.A pesantren tertinggi yang dirawat adalah guru. Mungkin memang guru yang paling banyak mengalami gangguan mental, atau guru paling banyak pergi ke ahli jiwa bila ada sedikit gangguan mental yang dialaminya. Menurut penelitian Hicks 17,5 persen dari sampel guru yakni 20 persen guru wanita dan 8 persen guru pria cepat “nervous” atau gugup diukur dengan koesioner yang menunjukkan kondisi neurotik. Peneliti lain yaitu Phillips menemukan bahwa 20 persen dari sampelnya sangat neurotik berdasarkan Bernreuter Inventorysedang menurut penyelidikan Peck 33 persen dari kelompok wanita yang mempunyai gangguan mental dan 12 persen memerlukan bantuan psikiatris berdasarkan Thurstone Inventory.
Ada kemungkinan, menurut pendapat sejumlah peneliti, bahwa tidak adanya hidup kekelurgaan yang normal dan frustasi dalam hubungan seks yang normal turut menambah gangguan mental guru-guru wanita yang tidak kawin. Guru pria dinggap memiliki mental yang lebih stabil bila mereka memiliki keluarga yang normal.
Berdasarkan penelitian itu dapat dibuktikan adanya guru yang mengalami gangguan mental, bahwa ada diantaranya yang memerlukan perawatan psikiater. Akan tetapi penelitian itu tidak menunjukkan apakah gangguan mental mitu lebih banyak terdapat dikalangan guru dibandingkan dengan profesi lain. Juga tidak diketahui apakah gangguan mental itu telah ada pada calon guru, nyata atau laten,  sebelum ia melakukan profesinya ataukah gangguan mental itu timbul sebagai akibat dari pekerjaannya sebagai guru.
Andaikan lebih banyak terdapat gangguan mental pada guru dibandingkan dengan profesi lain maka ada dua kemungkinan yaitu:
1.      Mereka yang terganggu jiwanya atau cenderung mempunyai ganggua jiwa lebih banyak memasuki profesi guru dari pada memilih pekarjaan lain.
2.      Guru yang berasal dari populasi normal memperoleh gangguan mental dalam presentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan profesi lain.
Ada pula kemungkinan kedua faktor itu terjadi serentak. Pilps melaporkan bahwa calon-calon guru menunjukkan stabilitas emosional yang lebih tinggi dari pada guru, jadi tampaknya gangguan mental disebabkan oleh pekerjaannya. Akan tetapi disini kita tidak mengetahui apakah pekerjaan guru lebih banyak menimbulkan gangguan mental dari pada pekerjaan lain.
Andaikan profesi keguruan lebih banyak mengakibatkan gangguan mental maka para pemuda-pemuda tidak akan tertarik oleh pekerjaan ini. Akan tetapi dibandingkan dengan profesi lain seperti dokter, insinyur, ahli ekonomi dan lain-lain guru tidak memiliki daya tarik yang begitu besar. Lulusan SMA pada umumnya akan menempatkan lembaga pendidikan guru pada pilihan kedua atau ketiga.Jadi ada di antara yang memasuki pendidikan guru telah gagal memasuki Perguruan Tinggi yang mereka idam-idamkan. Kegagalan dan Frustasi itu dapat menimbulkan keguncangan jiwa yang selanjutnya dapat mempengaruhi pribadinya.tentu saja pekerjaan guru itu saja dapat menimbulkan frustasi yang pada suatu saat mengakibatkan gangguan mental pada orang yang normal. Banyak tuntutan-tuntutan terhadap guru, di antaranya ada yang saling bertentangan, usahanya mendidik anak sering menemui kegagalan, hubungannya dengan anak-anak penuh ketegangan, dan banyak lagi faktor lain yang dapat mengguncangkan kestabilan pribadi seseorang. Akan tetapi profesi lain seperti dokter, insinyur, ahli hukum dan sebagainya, juga tidak ada yang bebas dari ketegangan.
Ketegangan itu sendiri tidak selalu mempunyai pengaruh negatif akan tetapi dapat justru meningkatkan kemauan dan, kegiatan, dan usaha untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dengan semangat yang lebih tinggi, yang akan member kepuasan yang lebih besar bila berhasil.
Guru yang terganggu mentalnya, apalagi yang sakit jiwa, tentu dapat merusak anak didik. Akan tetapi taraf yang demikian merusak, jarang terdapat dan sebelumnya sudah dapat dicegah. Pada umumnya, sekalipun ada terdapat gangguan mental pada guru tidak ada bukti-bukti yang nyata tentang adanya kerusakan yang ditimbulkan pada anak. Bahkan ada kemungkinan adanya gangguan keseimbangan dapat menambah efektivitas guru. Orang tidak senang mengalami keadaan terganggu dan akan dan berusaha untuk melenyapkannya dengan usaha yang lebih giat untuk mencapai kepuasan.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »