PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu Jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya
dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila satu orang bersama-sama melakukan
suatu jarimah maka perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Iasytirak.
Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak
mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing
pelakunya.seseorang yang melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang
lain, hukumanya tidak berbeda dengan jarimah yang dilakukanya seorang diri.
Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa mempengaruhi hukuman bagi
kawan berbuatnya.
Pada dasarnya menurut syariat Islam, hukuman-hukuman yang telah
ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas
pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang yang
turut berbuat tidak langsung dalam jarimah hanya dijatuhi hukuman ta’zir.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian pada latar belakang,
maka dapat dimunculkan permasalahan pokok sebagai berikut:
1. Bagaimanakah turut serta
melakukan jarimah itu?
|
BAB
II
PEMBHASAN
A. Turut
Serta Berbuat Jarimah
Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu
orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila beberapa
orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatanya itu disebut turut
berbuat jarimah atau al-Isytirak.
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua
macam:
B. Turut Serta Secara
Langsung
Turut serta secara langsung (al-Isytirakul
Mubasyir). Orang yang turut serta disebut peserta langsung (assyirkul
mubasyir). Turut serta secara lansung terjadi apabila orang-orang yang melakukan
jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Pengertian melakukan jarimah dengan
nyata di sini adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing-masing
mengambil bagian secara langsung, walaupun sampai tidak selesai. Jadi, cukup
dianggap sebagai turut serta secara langsung apabila seseorang telah melakukan
suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah itu.
Misalnya dua orang (A dan B) akan membunuh seseorang (C). A sudah memukul
tengkuk dengan sepotong kayu kemudian pergi, sedangkan B yang meneruskan sampai
akhirnya C mati. Dalam contoh ini A tidak turut menyelesaikan jarimah tersebut,
tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan tindak
pidana pembunuhan. Di sini A dianggap orang yang turut serta secara langsung.
|
Turut serta secara langsung adakalanya
dilakukan secara kebetulan saja dan adakalanya direncanakan lebih dahulu. Kalau
kerja sama itu secara kebetulan saja maka disebut tawafuq dan kerja sama
yang direncanakan terlebih dahulu disebut tamalu. Contoh tawafuq adalah
A sedang berkelahi dengan B. C yang mempunyai dendam kepada B kebetulan lewat
dan ia turut mengayunkan pisaunya ke perut B, sehingga akhirnya B meninggal
dunia. Dalam contoh ini A dan C bersama-sama membunuh B, tetapi antara mereka
tidak ada permufkatan sebelumnya. Sedangkan contoh tamalu adalah A dan B
bersepakat untuk membunuh C. Kemudian A mengikat korban (C) dan B yang
memukulnya sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A dan B dianggap sebagai
pelaku atau orang turut serta secara langsung atas dasar permufakatan.
Mengenai pertanggungjawaban peserta langsung
dalam tawafuq dan tamalu’ terdapat perbedaan pendapat di kalangan
para fuqha.
Menurut jumhur ulama ada perbedaan
pertanggungjawaban peserta anatara tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq
masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatanya
sendiri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Sedang pada tamalu
para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan mereka secara
keseluruhan. Kalau korban misalnya sampai mati maka masing-masing peserta
dianggap sebagai pembunuh.
Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dan
sebagian fuqaha Syafi’iah, tidak ada perbedaan antara pertanggungjawaban para
peserta dalam tawafuq dan tamalu, yaitu bahwa masing-masing
peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatanya sendiri-sendiri dan tidak
bertanggung jawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan.
C. Hukuman
Untuk Para Peserta Langsung
Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya
pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas
masing-masing pelakunya. Seseorang yang melakukan suatu jarimah bersama-sama
dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan jarimah yang dilakukanya
seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa mempengaruhi
hukuman bagi kawan berbuatnya.
Meskipun demikian masing-masing peserta dalam
jarimah itu bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri, tetapi tetap tidak
bisa berpengaruh kepada orang lain. Seorang kawan berbuat yang masih di bawah
umur atau dalam keadaan gila, bisa dibebaskan dari hukuman karena keadaanya
tidak memenuhi Syarat untuk dilaksanakanya hukuman atas dirinya.
Apabila jarimah yang mereka lakukan itu
jarimah pembunuhan maka hukuman terhadap mereka diperselisihkan oleh para
fuqaha. Menurut jumhur fuqaha yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’I, Iama Ats Tsauri, Imam Ahmad, dan Imam Abu Tsaur, apabila beberapa
orang membunuh satu orang, maka mereka harus dibunuh semuanya. Pendapat ini merupakan
pendapat Umar ra. Diriwayatkan dari Syaidina Umar ra. Bahwa beliau pernah
mengatakan:
لـَوْ تَـمَـا لأ َ عَــلـَيْـهِ أ َ هْـلُ
صَـنْـعَـا ء ِ لـَقـَـتـَلْـْتـَهُـمْ جَـمِـيْـعًـا
Artinya: Andaikata
penduduk San’a bersepakat membunuhnya maka saya membunuh mereka semuanya
Sedangkan menurut Imam Daud Az Zahiri, apabila
beberapa orang membunuh satu orang maka yang dihukum (qishas) hanyalah salah
seorang saja. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Zubair, Imam Zuhri, dan
Jabir.
D. Turut
Berbuat Tidak Langsung
Turut berbuat tidak langsung adalah setiap
orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain untuk memberikan
bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesegajaan.
Dari keterangan tersebut di atas kita
mengetahui bahwa unsur-unsur turut berbuat tidak langsung itu ada tiga macam,
yaitu:
1. Adanya perbuatan yang
dapat dihukum.
2. Adanya
niat dari yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat
terjadi.
3. Cara
mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh,
atau member bantuan.
a. Adanya
Perbuatan Yang Dapat Dihukum
Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, disyaratkan
adanya perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini perbuatan perbuatan tersebut
tidak perlu harus selesai, melainkan cukup walaupun baru pecobaab saja. Juga
tidak disyaratkan pelaku langsung harus dihukum pula.
b. Adanya Niat dar Orang
Yang Turut Berbuat
Untuk mewujudkanya turut serta tidak langsung,
juga disyaratkan adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan
persepakatan, suruhan atau bantuanya itu perbuatan itu dapat terjadi. Kalau
tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap turut
berbuat dalam semua jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau
jarimahnya ditentukan, tetapi yang terjadi jarimah lain yang tidak
dimaksudkanya maka tidak terdapat turut berbuat, meskipun karena persepakatan,
suruhan atau bantuan tersebut ia bisa dijatuhi hukuman.
c. Cara Mewujudkan
Perbuatan
Turut berbuat tidak langsung terjadi dengan
cara sebagai berikut.
1.) Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling
pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan suatu jarimah. Kalau tidak ada
persepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut berbuat. Meskipun ada
persepakatan tetapi jarimah yang terjadi bukan yang disepakati maka juga tidak
ada turut berbuat. Dengan demikian untuk terjadinya turut berbuat dengan cara persepakatan,
jarimah yang terjadi harus merupakan akibat dari persepakatan itu.
Dalam hal ini Imam Malik mempunyai pendapat
sendiri, yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan lain hanya
turt hadir dan menyaksikan pelaksanaan jarimah tersebut maka orang yang
menyaksikan itu dianggap sebagai kawan berbuat langsung. Pendapat ini berlaku
dalam semua cara turut serta tidak langsung, baik dengan jalan persepakatan,
suruhan ataupun bantuan.
2.) Suruhan atau Hasutan
Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang
lain untuk meklakukan suatu jarimah dan bujukan itu menjadi pedorong untuk
dilakukanya jarimah itu. Bujukan atau hasutan terhadap orang lain untuk
melakukan sesuatu jarimah merupakan suatu maksiat yang sudah bisa dijatuhi
hukuman.
Dalam tingkatan yang paling rendah dorongan
bisa berupa member semangat kepada orang lain untuk melakukan jarimah. Paksaan
meruapakan tingkatan yang lebih tinggi lagi. Paksaan ini terjadi apabila orang
yang mengeluarkan perintah atau bujukan itu mempunyai kekuasaan atas orang yang
diperintahnya , seperti orang tua terhadap anaknya atau atasan terhadap
bawahanya.
3.) Memberi Bantuan
Orang yang memberikan bantuan kepada orang
lain dalam melaksanakan suatu jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak
langsung, meskipun tidak ada persepakatan sebelumnya. Seperti mengamat-amati
jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain.
Para fuqaha membedakan antara pelaku langsung
(mubasyir) dengan member bantuan (al-mu’in). Pelaku langsung (mubasyir)
adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Sedangkan pemberi
bantuan (al-mu’in) adalah orang yang tidak berbuat atau mencoba berbuat,
melainkan hanya menolong pembuat langsung dengan perbuatan-perbuatan yang pada
lahirnya tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dan
juga tidak dianggap sebagai permualaan pelaksanaan dari perbuatan yang dilarang
tersebut.
E. Hukuman
Pelaku Tidak Langsung
Pada dasarnya menurut syari’at Islam,
hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash
hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung.
Dengan demikian, orang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah dijatuhi
hukuman ta’zir.
Alasan pengkhususan ketentuan tersebut untuk
jarimah hudud dan qishash ini karena pada umumnya hukuman-hukuman yang telah
ditentukan itu berat dan tidak berbuat langsungnya pelaku tidak langsung
merupakan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had. Di samping itu juga
kawan berbuat (peserta tidak langsung) tidak sama bahayanya dibandingkan dengan
pelaku langsung. Meskipun demikian kalau perbuatan pelaku tidak langsung bisa
dipandang sebagai pembuat langsung, karena pelaku langsung hanya sebagai alat
semata-semata yang digerakan oleh pelaku tidak langsung maka pelaku tidak
langsung tersebut bisa dijatuhi hukuman had atau qishash. Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, bahwa menurut Imam Malik peserta tidak langsung dapat
dipandang sebagai pelaku langsung, apabila orang tersebut menyaksikan
terjadinya jarimah tersebut.
Aturan perbedaan hukuman antara pelaku
langsung dan tidak langsung tersebut, hanya berlaku dalam jarimah hudud dan
qishash dan tidak berlaku untuk jarimah ta’zir. Dengan demikian, dalam jarimah
ta’zir tidak ada perbedaan hukuman antara pelaku langsung dan pelaku tidak
langsung, sebab perbuatan masing-masing pembuat tersebut termasuk jarimah
ta’zir dan hukumanya juga hukuman ta’zir, sedangkan syara’ tidak memisahkan
antara jarimah ta’zir yang satu dan jarimah ta’zir lainya. Selama hakim
mempunyai kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir, maka tidak
ada perlunya membuat pemisahan antara hukuman perbuatan langsung dengan hukuman
perbuatan tidak langsung dalam jarimah ta’zir. Oleh karena itu, hukuman pelaku
tidak langsung bisa lebih berat, sama berat atau lebih ringan daripada hukuman
pelaku langsung, berdasarkan pertimbangan masing-masing pelaku, baik keadaanya
maupun perbutanya.
F. Pertalian
Perbuatan Langsung Dengan Perbuatan Tidak Langsung
Pertalian anatara kedua macam perbuatan
tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih dari kemungkinan.
1. Perbuatan
tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan lansung, dan hal ini bisa terjadi
apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum (pelanggaran
hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk
menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan
tidak langsung.
2. Perbuatan
langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi apabila
perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan
perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang
terjadi. Seperti orang yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian
datang orang ketiga untuk membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
3. Kedua
perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti
memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah
yang menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya
tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau
sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan
menimbulkan pembunuhan tersebut.
Akan tetapi dalam penerapan
(pembedaan-pembedaan) tersebut terdapat perbedaan di kalangan fuqaha, seperti
apabila ada orang menahan orang lain (orang kedua) agar bisa dibunuh oleh orang
ketiga.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi’I orang
pertama (yang menahan) adalah peserta yang member bantuan, bukan pembuat asli
(langsung). Alasanya ialah bahwa orang yang menahan mekipun menjadi sebab bagi
kematian orang kedua, namun orang kedualah yang melakukan pembunuhan langsung, sedang
perbuatan langsung lebih kuat daripada perbutan tidak lngsung, apabila
perbuatan tidak langsung tidak mengharuskan menimbulkan akibat.
Menurut fuqaha lainya, yaitu Imam-imam Malik
dan beberapa ulama mazhab Hambali, baik orang yang menahan maupun yang membunuh
langsung, kedua-duanya dianggap sebagai pembunuh langsung. Alasanya ialah bahwa
perbutan-perbuatan langsung dan tidak langsung pada contoh pada pembahasan
sebelumnya sama-sama menimbulkan akibat perbutan jarimah yaitu kematian si
korban.
Kalau sekiranya tidak ada salah satu dari
kedua perbuatan itu tentunya tidak akan terjadi kematian tersebut.
Jadi letak perbedaan bukan kepada siapa
pembantu dan siapa pembuat asli (langsung), melainkan apakah perbuatan tidak
langsung pada contoh tersebut sama dengan perbuatan langsung atau tidak.
Apabila kawan berbuat mengurungkan
persepakatanya atau hasutanya atau bantuanya, akan tetapi meskipun demikian
sesuatu jarimah terjadi juga dari pembuat langsung, maka kawan berbuat tidak
dihukum, karena apa yang telah diperbuatnya tidak menjadi sebab bagi terjadinya
jarimah.
Khusus mengenai hasutan, maka kawan berbuat
baru dimaafkan betul-betul kalau penghasut dapat menunjukan bahwa dia telah
menghapuskan pengaruh perbuatan atas terjadinya jarimah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Suatu
jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh
lebih dari satu orang. Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu
jarimah maka perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Isytirak.
2. Pada
dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi
besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya. Seseorang yang
melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda
dengan jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam
jarimah itu tidak bisa mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.
3. Unsur-unsur turut
berbuat tidak langsung itu ada tiga macam, yaitu:
a. Adanya perbuatan yang dapat dihukum.
b. Adanya
niat dari yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat
terjadi.
c. Cara
mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh,
atau member bantuan.
|
5. Pertalian
anatara kedua macam perbuatan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih
dari kemungkinan.
a. Perbuatan
tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan lansung, dan hal ini bisa terjadi
apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum
(pelanggaran hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan
hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu
adalah perbuatan tidak langsung.
b. Perbuatan
langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi apabila
perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan
perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang
terjadi. Seperti orang yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian
datang orang ketiga untuk membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
c. Kedua
perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti
memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah
yang menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya
tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau
sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan
menimbulkan pembunuhan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. Asas-asas
Hukum Pidana Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Cet. I, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004
|
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Turut Serta Berbuat Jarimah 2
B. Turut Serta Secara Langsung 2
C. Hukuman Untuk Para Peserta Langsung 4
D. Turut
Berbuat Tidak Langsung 5
E. Hukuman Pelaku Tidak Langsung 7
F. Pertalian Perbuatan Langsung Dengan
Perbuatan
Tidak
Langsung 8
BAB III PENUTUP 11
A. Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 13
|
TURUT SERTA
BERBUAT JARIMAH
MAKALAH
MUHAMMAD YASIN
NIM:
07.3.S.0015
Makalah
ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata
kuliah Hukum Pidana Islam
(Fiqih
Jinayat)
STAIN
WATAMPONE JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM
STUDI HTNI
SEMESTER V